Merindukanmu wahai Utusan Rabb semesta

Ini adalah kisah yang dibaca hari ini yang membuat air mata bercucuran deras

karena kerinduan pada Rasulullah
karena semua permasalahan hidup ini rasanya hilang menguap
dengan hadirnya kasih sayang teramat sangat dari kekasih Allah pilihan

tentang Rasulullah dan Abu Dzar

Dari Asma Binti Yazid : bahwasanya Abu Dzar al Ghifary adalah pelayan Rasulullah, jika telah selesai dari pekerjaannya, maka ia pulang ke Mesjid dan tidur di mesjid dengan tanpa berbaring sempurna.

Rasulullah lalu masuk ke mesjid dan mendapatinya kedinginan. Rasulullah lalu membuatnya duduk, dan adu dzar terbangun.

Rasulullah berkata : wahai ABu Dzar aku tidak pernah melihatmu tidur

ABu Dzar menjawab : wahai Rasulullah dan dimanakah aku tidur? apakah aku punya rumah selain mesjid?

Rasulullah kemudian duduk sangat dekat dengannya seraya berkata “Bagaimana engkau jika mereka mengusirmu dari mesjid?”

Abu Dzar menjawab : “maka aku akan pergi ke Syam, sesungguhnya Syam adalah negeri hijrah, dan ia adalah padang mahsyar, dan ia adalah negeri para nabi, maka aku akan menjadi salah satu penduduknya”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “bagaimana engkau jika mereka mengusirmu darinya?”

Abu Dzar menjawab : aku akan kembali ke syam, ia adalah rumahku dan tempat tinggalku

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : bagaimana engkau jika mereka mengusirmu lagi?

Abu Dzar menjawab : maka aku akan menghunus pedangku mempertahankan diri hingga mati

Rasulullah mempertegas posisi duduk dan memegang abu dzar : “maukah engkau aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik?”

Abu Dzar menjawab : tentu saja, demi ayah dan ibuku wahai nabi Allah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : engkau menta’ati mereka sesuai perintah mereka dan berjalan sesuai mereka arahkan hingga engkau menemuiku dalam keadaan patuh dan ta’at

Musnad Imam AHmad 27588

Terhempas Badai – 50 (Rasa Takut yang Berguna)

Lima Puluh : Rasa Takut yang Berguna
    Pembicaraanku dengan Hafshah belum selesai ketika Ibnu Umar datang, wajahnya gusar, kegusaran yang tidak akan ditangkap banyak orang, namun selalu aku lihat, ia yang tidak pernah bisa memutuskan untuk berada di pihak mana. Keberpihakannya adalah hanya pada rangkaian kata-kata Rasulullah yang terhujam dalam pikiran dan hatinya.
    Tapi itu semua sesungguhnya adalah puzzle yang belum tersusun dengan rapih, seringkali kita menemukan dibagian mana sesungguhnya satu kata dari baginda Rasulullah harus diletakkan dan dipergunakan dalam kehidupan justru ketika kesalahan telah dilakukan. Kesalahan demikian telah dirasakan dengan mendalam oleh adikku, Aisyah. Semua ucapan-ucapan Rasulullah tentang rentetan peristiwa mulai dari terbunuhnya Khalifah Utsman hingga fitnah-fitnah yang terjadi sesudahnya tak dapat dipahami Aisyah kecuali setelah semua terjadi. Duhai penyesalan yang tidak pernah menjadi pembuka suatu peristiwa.
    Dan kini Ibnu Umar, Ia yang seakan tidak menunjukkan sikap apa-apa pada setiap peristiwa yang terjadi. Berdiam saat peristiwa Jamal, hening saat peristiwa Shiffin. Kini keadaan memuncak. Awan telah teramat hitam pekat dan berat, siap memenuhi bumi dengan tetesan-tetesan yang bisa jadi adalah justru kucuran darah. Ia datang pada Hafshah bertanya dengan tatapan yang menggambarkan “apa yang harus aku lakukan?”
    Kami semua telah mengetahui bagaimana Hasan putra Ali akan bersikap, penghulu pemuda surga itu lebih mencintai akhirat. Kata-kata Hasan telah membuat Habib menyadari batas-batas keberpihakan. Ia mencintai Muawiyah, sangat.
    Bagi Habib, Muawiyah adalah sesosok pemimpin yang melahirkan kemenangan, ketajaman menganalisa dan memutuskan, seluruh kelihaian Bani Umayyah tertumpah pada pribadi Muawiyah. Jika tanah mesir bangga dengan para Fir’aunnya, kedigjayaan Romawi kagum dengan para Kaisarnya, bumi Persia takjub dengan para Kisranya, maka Muawiyah adalah jelmaan semua harapan dan mimpi bangsa arab akan karakter pemimpin.
    Habib selalu mengingat ejekan-ejekan orang Persia bagi bangsanya, bangsa arab. Saat itu ia baru berusia lima atau enam tahun, udara Mekkah masih diliputi api permusuhan pada baginda Rasul, ia melihat bagaimana kafir Quraisy ketika itu menyiapkan pasukan perang Parit.
    Habib bertanya-tanya akankah kota kosong, semua ingin menyerbu kota kecil di utara Mekkah, mengapa? Pertanyaan yang menghantarkannya mengenal sosok Rasulullah, orang yang meniupkan udara kedigjayaan. Suatu kedigjayaan atas nama Allah yang diliputi kesetaraan dan keadilan. Bahwa kota-kota Persia akan ditaklukan, bahwa kota-kota Romawi akan ditaklukan.
Mungkinkah?
    Sementara orang-orang Thaif jika bercakap di kedai-kedai kopi mereka mengisahkan perjalanan Harits bin Kildah ke Madain di negeri Paris, Harits seorang dokter arab dari Thaif yang bisa menjumpai Kisra Anusyirwan.
“apa pekerjaanmu?” Kisra bertanya
“aku seorang dokter” Harits menjawab
“Bukankah kamu seorang arab kampung?” Kisra keheranan dengan jawaban Harits
“ya, aku orang arab kampung, dari jantungnya arab kampung” Harits tetap menjawab dengan tenang
“memangnya orang arab menghormati profesi dokter, mereka kan bodoh, lemah akal, makan makanan yang tidak bergizi, bagaimana?”
    Ucapan yang seharusnya sudah membuat Harits naik pitam, tapi kisah ini pun selalu kukenang, akupun mendengarnya dari orang-orang Thaif yang bangga dengan cara Harits menghadapi kepongahan Kisra. Jika kisah yang Habib dengar sama dengan seperti yang aku dengar maka kelanjutannya akan seperti ini
“Wahai tuan raja, jika benar orang arab memiliki sifat-sifat seperti yang engkau katakan, maka mereka sangat memerlukan kehadiran dokter yang akan mengobati kebodohannya, meluruskan kebengkokannya, serta membimbing jiwa dan raganya. Sesungguhnya seseorang yang berakal akan mengetahui hal-hal yang benar dan baik dengan sendirinya, mengetahui letak-letak penyakit dan menyembuhkannya sendiri, dan demikianlah orang pintar mengatur segala sesuatu untuk dirinya sendiri”
Kisra Anusyirwan terbelalak kagum dengan ucapan Harits, ia lalu berkata
“bagaimana kamu bisa mengetahui hal-hal yang engkau sebutkan, bukankah kebijaksanaan tidak cocok berada pada tempat-tempat kebodohan?”
Harits masih memiliki kata-kata untuk menjawab : “Akal dan kecerdasan adalah pemberian Allah, ia dibagi-bagi sebagaimana rizqi dibagi-bagi, maka ada suatu bangsa yang secara umum mereka digjaya, tetapi kita tetap saja akan menemukan adanya diantara mereka berbagai tipe manusia, kalangan pandai, kalangan kaya, kalangan miskin dan kalangan bodoh, ada kalangan kuat dan ada kalangan lemah. Semua itu adalah ketetapan dari yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.
“wow, wow, wow, eloknya yang engkau katakan, lalu apa yang engkau banggakan sebagai orang arab?” Kisra menyelidik
“mereka adalah bangsa yang dermawan, memberikan seluruh apa yang dimiliki, bangsa yang jelas dan benar nasabnya, bangsa yang fasih bahasanya, dan lisan yang tepat sasaran dalam menyampaikan, tutur kata mulia yang lebih lembut dari terpaan angin musim semi. Bangsa yang tiada gentar dalam peperangan, tekad yang tidak pernah menciut jika telah dipancang, hingga tiada yang sanggup melewati batas-batas kehormatannya, dan tidak dihinakan orang-orang mulianya”
    Kisra Anusyirwan terdiam dan mengakui semua ucapan Harits, lalu mereka bercakap-cakap tentang ilmu kedokteran, maka Harits mendapat tempat terpuji dimata Kisra.
    Kisah ini kudengar dihari-hari beliaku di Mekkah, apa yang Habib pikirkan bisa jadi adalah seperti yang aku pikirkan sewaktu aku mendengar kisah ini, ilmu, ilmu dan ilmu. Tiada jalan kesetaraan dengan bangsa-bangsa kecuali dengan ilmu. Lalu semua itu ada pada diri Muawiyah. Ia telah mengaguminya sejak masa kecilnya.
    Penaklukan Mekkah adalah kebingungan bagi Habib kecil, apa makna semua kemenangan baginda Rasul dan para pengikutnya? Habib tak mengerti.
    Habib menyaksikan bahwa idola kecilnya, Muawiyah mengucap dua kalimat syahadat, persaksian akan adanya satu sembahan dan adanya utusan Tuhan. Ini keimanan.
Keimanan, suatu titik yang hingga hari ini masih menjadi kubu ekstrim dalam pikiran dan hati Habib. Pikiran Habib didalamnya ada tiga sisi : keimanan, ilmu dan kekuasaan.
    Hasan dan Habib selepas Shiffin, mereka bertatapan tajam. Kata-kata Hasan sudah dapat dipastikan mengganggu pikirannya, titik-titik keimanannya tepat dikenai kata-kata Hasan.
    “Seseorang berjalan, tanpa terasa berjalan di jalan tidak ta’at pada perintah Allah dan RasulNya” Hasan membuka kata
    “Sungguh, apa yang aku lakukan dengan memerangi ayahmu, bukanlah dalam jalan ketidak ta’atan pada Allah dan RasulNya” Habib menjawab antara yakin dan tidak.
    “hei, hei, hei, wahai Habib, bagaimana kau berkata tidak, sedangkan engkau menta’ati Mu’awiyah untuk urusan dunia, tidakkah kau mengerti akan sifat urusan dunia? Kelak Engkau adalah orang yang sebagaimana ayat ini gambarkan “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(At taubah : 102). Adapun dirimu hari ini adalah sebagai mana yang ayat ini gambarkan : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka” (Al Muthaffifin : 14)
    
    Ohh, Hasan, engkau berhasil merubah warna wajah Habib, tetapi kau tidak dapat merubah rasa cinta Habib pada Muawiyah. Dari bincangmu dengan Habib justru kami telah dapat mengira apa yang akan engkau putuskan, tentang ini, tentang kepemimpinan yang kini ada dipundakmu.
    Dan kini, disini, Ibnu Umar menatap kakak perempuannya tertua, menatap Hafshah dalam-dalam. Berdiri tegak dalam rapuh, dengan beribu tanya diwajahnya.
“Pergilah, sesungguhnya orang-orang menunggumu, aku khawatir tatkala engkau lagi-lagi terdiam tak memperlihatkan batang hidungmu, maka kesatuan yang didepan mata akan terpecah kembali”
    Ibnu Umar tak beranjak, ia hanya menatap Hafshah, dan Hafshah tak berhenti mengucapkan kata-kata yang sama.
“Pergilah, sesungguhnya orang-orang menunggumu, aku khawatir tatkala engkau lagi-lagi terdiam tak memperlihatkan batang hidungmu, maka kesatuan yang didepan mata akan terpecah kembali”
    Airmata tanpa terasa membasahi pipi-pipi kami, ini adalah keputusan yang sangat berat, 30 tahun berlalu sejak baginda Rasul wafat, kata-katanya akan menjadi kenyataan. Kami menyaksikan dan tidak dapat berbuat apa-apa. Syarat apapun yang disampaikan Hasan pada Muawiyah, tidaklah akan merubah makna hari ini. Detik bergantinya corak kepemimpinan.
    Ibnu Umar membalikkan badan, langkahnya tak pasti, ia harus menelan pil pahit atas sikap-sikapnya terdahulu. Sifat takdir yang semakin dipahaminya.
    Lalu bagaimana dengan putra-putraku, bagaimana putra-putra az Zubayr yang lainnya? Mereka tak akan bisa memahami Muawiyah sebagaimana Habib mencintainya. Abdullah tidak pernah mengenal rasa tidak percaya diri bangsa arab. Ia adalah putra tanah cahaya. Harga dirinya ditegakkan dengan kebenaran islam. Siapa yang layak memimpin adalah siapa yang Allah restui, jalan-jalan menegakkan kepemimpinan yang benar sangat jelas dihadapannya. Sumber kebenaran itu dari Allah, kekuatan itu dari Allah. Selera manusia dalam kepemimpinan bisa benar dan bisa salah, maka tidak bisa mengikuti selera manusia.
    Sepertinya peristiwa yang menimpa Abu Al Hasan dalam kepemimpinannya, belum dapat dicerna dengan benar oleh Abdullah. Ali adalah gerbang ilmu, tapi ternyata tidak cukup menjadi perayu manusia untuk ta’at dan tunduk padanya.
    Adapun Muawiyah, segalanya seakan berkumpul padanya, ilmu, kekuasaan, keimanan. Tiada sulit baginya menaklukan hati manusia hingga bisa menguasainya. Rahasia kekuasaan yang perlu dipelajari seorang pemimpin.
    Air mata masih membanjiri pipi-pipi kami, Diwaktu itu sewaktu pulang haji, ditahun Utsman terbunuh, hampir-hampir saja aku dan Hafshah ikut serta bersama Aisyah, melaju ke medan Jamal. Kata-kata keras dari Ummu Salamah menyelamatkan kami dari terhempas dalam badai, dan kamipun teringat pada ucapan Aisyah yang menyayat-nyayat jiwanya “seandainya aku telah diwafatkan sebelum peristiwa Jamal”, tangis yang semakin menjadi menghadapi kenyataan bahwa ujung semua kegaduhan ini adalah lahirnya raja yang memimpin ummat Islam. Beginilah ternyata kelahirannya.
    Sekonyong-konyong Ibnu Umar telah kembali berada di ruangan ini bersama kami, kehadirannya baru kami sadari tatkala pintu diketuk dengan cukup keras. Habib datang mengikuti Ibnu Umar dan Hafshahpun masuk ke kamarnya.
    Habib memeluk Ibnu Umar, ada kekaguman dimatanya.
    “Wahai putra al Faruq, aku tahu engkau ingin mengatakan sesuatu, kenapa kau tidak menjawab pidato Muawiyah sebagaimana yang ia minta?” Habib menyelidik
    Ibnu Umar menghela nafas panjang
“kata-kata itu hampir keluar dari kerongkonganku, aku akan berkata : “wahai Muawiyah sesungguhnya yang lebih berhak dalam urusan kepemimpinan ummat Islam adalah orang-orang yang memerangimu dan memerangi ayah dan kakekmu dengan alasan islam” tapi aku takut mengucapkan kata-kata yang memecah belah kesatuan, kata-kata yang menumpahkan darah, dan orang-orang memahamiku secara salah. Maka aku mengingat surga dan apa-apa yang Allah janjikan”

ujung terhemas badai ….. bismillah

Kisah Seorang Yahudi yang Menyayat Hati

Kisah seorang Yahudi yang menyayat hati

Abdullah bin Abbas berkata :
  Ada seorang yahudi di syam membaca taurat di hari sabtu, ia menghamparkan lembaran-lembaran taurat di hadapannya, kemudian memperhatikan sengan seksama. Maka ia menemukan sifat Rasulullah SAW dan karakternya di empat tempat, ia kemudian memotong empat lembaran tersebut dan membakarnya.

  Kemudian di sabtu berikutnya, ia menemukan sifat dan karakter Rasulullah di delapan tempat, ia memotongnya dan membakarnya.

  Di sabtu berikutnya ia menemukan sifat dan karakter Rasulullah di duabelas tempat. Ia kemudian berpikir dan berkata : Jika aku memotongnya lagi maka seluruh taurat akan berbicara tentang sifatnya.

  Ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya. Mereka menjawab : “Ia pendusta, lebih baik kamu tidak melihatnya, dan dia tidak melihatmu.

  Ia berkata : “Demi kebenaran yang ada pada taurat Musa, janganlah kalian mencegahku mengunjunginya”. Maka merekapun mengizinkannya. Maka ia mengendarai kendaraannya dan berjalan malam dan siang.

  Ketika ia sampai Madinah, orang yang pertama menyambutnya adalah Salman. Wajah Salman sangat tampan rupawan. Ia mengira bahwa Salman adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia sampai Medinah itu selang tiga hari sesudah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

  Ditanya tentang nabi Muhammad Salman menangis, Salman menjawab : “aku adalah budaknya”
  Lelaki Yahudi itu bertanya : “dimanakah ia?”
  Salman berpikir keras, dan berkata dalam hatinya “jika aku mengatakan nabi Muhammad telah wafat, maka ia akan pulang, dan jika aku berkata nabi Muhammad hidup maka aku berdusta”
  Salman lalu berkata padanya : “Marilah kita mengunjungi para sahabatnya”

  Ia pun memasuki Mesjid, dan sahabat-sahabat Rasulullah saat itu sedang diliputi kesedihan mendalam.
  Orang Yahudi itu berkata “Salam sejahtera untukmu wahai Muhammad”, ia mengira bahwa nabi Muhammad ada bersama para sahabatnya.
  Maka pecahlah tangisan dan suara tangisan para sahabat itu bagai gelombang. Mereka berkata : “siapakah kamu?, engkau telah membuka kembali luka dan duka mendalam dihati kami, pastinya engkau orang asing, apakah engkau tidak tahu bahwasanya Rasulullah telah wafat tiga hari yang lalu?”

  Orang yahudi itu berteriak keras :
  “betapa sedihnya aku !
  “Betapa sia-sianya perjalananku!
  Seandainya ibuku tak pernah melahirkanku,
  sekiranya kalau pun ibuku melahirkanku maka aku tak pernah membaca taurat,
  sekiranya kalaupun aku membaca taurat aku tidak menemukan sifat nabi Muhammad,
  sekiranya sekiranya aku menemukan sifat nabi Muhammad maka aku sempat melihatnya.

  
  Ali kemudian berkata : “kemarilah, katakanlah padaku sifat-sifatnya, Yahudi berkata : baiklah.
  Yahudi berkata : siapa namamu?
  Ali berkata : Ali
  Yahudi berkata : sesungguhnya aku menemukan namamu dalam taurat
  Ali berkata : sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat dan keningnya jelas, bola matanya hitam, alisnya tebal hitam, kedua alisnya berjarak, Jika tertawa cahaya keluar dari giginya, rambutnya tebal, telapak tangan dan kakinya kuat, tulang-tulangnya besar, diantara dua pundaknya terdapat cap kenabian.
  Yahudi berkata : engkau benar wahai Ali, demikianlah sifat-sifat fisiknya didalam taurat. Apakah tersisa darinya pakaian, sehingga aku dapat mencium aroma tubuhnya.

  Ali berkata : ya, lalu berkata : “wahai Salman pergilah kepada Fathimah, dan katakan padanya : kirimlah padaku jubah ayahmu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam.

  Salman kemudian mendatangi pintu Fathimah, dan berkata : “wahai pintu kebaikan, wahai pintu perhiasan para wali Allah, dan saat itu Hasan dan Husein sedang menangis. Salman kemudian mengetuk pintu.
  Fathimah kemudian berkata : “siapakah yang mengetuk pintu anak yatim?”
  Salman berkata : saya Salman
  Kemudian Salman mengabarkan kepada Fathimah apa yang diminta Ali, Fathimah kemudian menangis.
  Fathimah berkata : siapakah yang sanggup memakai jubah ayahku?
  Kemudian Salman menceritakan apa yang terjadi, maka Fathimahpun mengeluarkan pakaian jubah yang telah ditambal 7 kali dengan serat.
  Salman mengambilnya dan menciumnya, demikian pula para sahabat, dan orang Yahudi itu kemudian mengambilnya dan menciumnya.

  Orang Yahudi berkata : betapa sedap baunya kemudian berdiri menuju makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ia kemudian menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata :
  Aku bersaksi wahai Tuhanku, bahwasanya Engkau satu yang Esa, satu tempat bergantung. Aku bersaksi bahwasanya penghuni makam ini adalah utusanMu, orang yang Engkau cintai, dan aku mengimaninya.
  Ia berkata : “wahai Allah sekiranya engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang”
  Orang yahudi itupun tersungkur wafat. Ali kemudian memandikannya dan menguburkannya di Baqi.

  Semoga Allah menyayanginya dan membangkitkan kita semua sebagai kelompok orang-orang shalih.

kisah Anas bin Malik dan Al Hajjaj

MasyaAllah, makin hari makin tergambar peta jalan

inilah yang paling asyik dari mempelajari sejarah, yaitu memiliki suatu sudut pandang terhadap “kehidupan”
bagaimana kita hidup dan membangun hubungan dengan Sang Pencipta
lalu membangun kehidupan sosial dengan dinamika dan lika-likunya
memahami manusia dengan perangainya
sehingga semua peristiwa dibaca dengan kacamata kearifan

sosok Al Hajjaj ibnu Yusuf Ats Tsaqafi,
digambarkan sebagai pribadi bengal, keras, menumpahkan darah

menyusuri kepribadiannya, ternyata Al hajjaj memiliki juga titik-titik rasa takut
Ia adalah seorang kepala prajurit yang mentaati perintah atasannya
dan sungguh Al Hajjaj adalah orang yang takut pada ALLAH,
bagaimanakah rasa takut pada Allah ini berefek pada pribadi al Hajjaj?
bagaimana kaitan antara rasa takut ini dengan darah yang ditumpahkannya?

suatu ketika ia sangat kesal dengan sahabat Rasulullah Anas Bin Malik
al Hajjaj berkata “seandainya tidak ada wasiat dari Abdul Malik bin Marwan agar aku tidak melakukan ini padamu, tidak melakukan itu, maka pasti aku telah berbuat sesuatu padamu”

Anas bin Malik dengan enteng menjawab : “sesungguhnya jika tidak ada wasiat itupun, kau tak akan bisa melakukan apa-apa padaku”

Al Hajjaj terbelalak berkata : “Kok bisa?”

Anas menjawab : “ya karena aku berdo’a di setiap hari di saat yang tepat, suatu do’a yang bisa mencegah tangannmu menyentuhku”

Apa itu? kata Al Hajjaj

Imam Anas bin Malik menolak untuk memberitahukan redaksi do’anya, sehebat apapun al hajjaj merayu.

Dari peristiwa rayuan al Hajjaj agar sahabat Anas bin Malik memberikan rahasia “kekebalan” nya memperlihatkan bahwa al Hajjaj percaya 100% akan kekuatan do’a
pandangan politiknya dipengaruhi dengan situasi yang terjadi pada saat itu, bahwa chaos politik berbahaya, dan kepemimpinan itu harus padu, maka ia harus memilih dan setia berada di pihak mana.

sikap politik yang setiap orang berbeda-beda
Hajjaj memahami benar akan resiko sikap yang diambilnya
tentang darah-darah yang tertumpah, tentang mesjidil haram yang diserangnya
resiko yang ia ambil demi kepemimpinan yang harus ditegakkan

orang-orang zaman itu tahu benar akan makna kepemimpinan,
sikap mereka berbeda-beda

misalnya Sa’id Ibnu al Musayyab,
Sa’id Ibnu al Musayyab adalah seorang ulama tabi’in, berasal dari bangsawan Quraisy, bani Makhzum.
tak terhitung ribuan cambukan mendarat di tubuhnya karena masalah kepemimpinan ini

gubernur Madinah untuk Abdullah bin az Zubayr mencambuknya karena ia tak mau berba’iat padanya, Sa’id bin Musayyab berkata : “hingga manusia bersatu baru aku akan berba’iat pada Abdullah”
cambukan baru berhenti baru setelah Abdullah tahu yang dilakukan gubernurnya pada Sa’id dan Abdullah memarahi gubernurnya.
Abdul Malik, dan dua putranya al Walid dan Sulaiman pernah juga mencambuknya untuk urusan ini
hingga terjadi boikot ilmu pengetahuan pada Sa’id bin Musayyab, tak boleh seorangpun menjadi muridnya.

kembali ke Anas bin Malik, beberapa saat sebelum wafat, abban putra Utsman bin Affan merayunya, agar memberitahu do’a “KEKEBALAN” yang dimilikinya, akhirnya Anas memberitahukan do’anya pada Abban :

do'a anas

Dengan nama Allah atas jiwaku dan agamaku, dengan nama Allah atas keluargaku dan hartaku dan anak-anakku, Dengan nama Allah atas segala sesuatu yang diberikan Tuhanku padaku, Allah Allah Rabbku, aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, Allah Allah Rabbku, aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah lebih tinggi lebih mulia daripada apa yang aku takutkan. Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung padaMu dari keburukan jiwaku dan dari setiap syetan yang mengganggu, dan dari diktator yang berbuat kekerasan, Engkau berfirman : “jika mereka berpaling dari hukum Allah maka katakanlah : cukuplah Allah bagiku, tiada yang disembah kecuali Dia, padaNya aku bertawakkal dan dia Rabb pemilik ‘arsy yang agung.
tinggilah penjagaanMu, tinggilah pujian padaMu, tiada tuhan selainMu

do’a diatas dibaca setiap pagi dan petang, dibaca tiga kali
klo pagi sesudah subuh sebelum matahari syuruq
kalau sore sesudah ashar sebelum matahari terbenam
klo buat yang dawam ma’tsurat yang disusun imam syahid hasan al banna
tambahin lah ya do’a ini

ya Rabb, era-era mau pemilu, betapa kita memerlukan do’a-do’a yang dipanjatkan,
dihindarkan dari pemimpin yang tidak takut kepada Allah

Kisah mereka yang Murtad di zaman Rasulullah (1)

ini kisah yang paling menyadarkan saya, tentang pentingnya “mengenal” dan memahami kedudukan setiap manusia.

Manusia sebagai makhluq Allah, apapun agamanya
lalu memahami hak setiap muslim
memahami hak-hak setiap mukmin
mencoba mengenal kedudukan setiap mukmin dihadapan Allah

kisah ini, benar-benar membuka mata
kisah yang membuat memahami betapa suatu kondisi adalah kompleksitas
kisah yang mengajarkan bahwa kita harus mempelajari bagaimana merespon suatu peristiwa
kisah yang membuka mata bahwa setiap pribadi memiliki posisi dan kedudukan dimata Allah
menyadarkan kesejatian bahwa semua urusan kelak dikembalikan kepada Allah
adapun di dunia, maka semua berjalanlah sesuai dengan batasan yang telah Allah tetapkan

Utsman bin Affan punya saudara susuan yang bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin
Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin, ia telah masuk islam sewaktu di Mekkah,
bahkan memiliki tugas mulia : mencatatkan wahyu.
Ternyata Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin “mempermainkan keislamannya”
ia mencatat wahyu sekehendak hatinya, Jika Rasulullah menyampaikan bahwa ayat tersebut ‘aziizun hakiim
Abdullah suka menulis ‘aliimun hakiim
lalu murtad, dan berkata kepada orang-orang kafir bahwa “agama jahiliyyah” lebih baik daripada islam.

saat futuh Mekkah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin lari, takut dibunuh dan kemudian meminta jaminan keamanan kepada Utsman.
Utsman lalu menyembunyikannya hingga keadaan tenang.
setelah kondisi tenang, Utsman membawa Abdullah kepada Rasulullah SAW.
Saat datang Rasulullah terdiam tidak menjawab dalam jangka waktu yang sangat lama.
keadaan menegang ….. tetapi kemudian tegangan menurun dan Rasulullah mengeluarkan jaminan keamanan bagi Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin.
Utsman dan Abdullah kemudian pamit.
Setelah keduanya pergi, Rasulullah kemudian berkata : “aku terdiam sangat lama, karena berharap salah satu dari kalian berdiri membunuh Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin”
Seseorang diantara mereka berkata : “kenapa engkau tidak memberi tanda kepada kami”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Adalah haram bagi seorang nabi untuk membunuh dengan cara memberi tanda, Seorang nabi diharamkan berkhianat didepan mata”

(AL Kamil Fi at Taarikh, Ibnu Al Atsier, jilid 2 hal 123… cetakan Daar el kutub el arabi)

Peristiwa ini bisa ditafsirkan macam-macam,
bisa dangkal, bisa menyimpang

adalah tugas kita menyuarakan kejernihan.
memahami teks dan konteks
memahami dengan integral

dari kisah ini, banyak yang dapat saya ambil
1. Pentingnya memahami prosedur dan adab-adab yang Allah tetapkan dalam segala sesuatu, dan lalu menerapkannya setiap keadaan yang sesuai terjadi
2. menjaga batas-batas kewenangan, memahami peran dan posisi

ahhh, malam ini titik kritis itu kembali ditemukan

Abdullah bin Sa’d Abi Sarhin menjadi kunci ditaklukannya Afrika, menjadi kunci penyebaran islam di Afrika
sungguh semakin ingin melihat apa yang akan terjadi di esok hari
saat semakin takjub dengan keadilan dan kebijaksanaan di pengadilan Allah

kisah unik ini, semakin membuat mau membaca kompleksitas kehidupan
mengenal manusia dan prahara-prahara yang menimpanya

Allahumma Shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad
dan
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada seluruh kaum beriman

takwil matahari rembulan (Ali – Muawiyah)

membaca setiap kisah-kisah

semoga setiap kisah yang semakin membuka jalan atas pemahaman utuh yang kokoh akan kebenaran
suatu jalam lurus yang Allah terangi dengan cahaya=cahayanya

Adalah Umar bin a Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, yang keduanya Allah telah ridhai
hubungan unik yang penuh dengan cinta kasih
saling mengagumi dan menghormati

hingga saat seorang uskup, mengatakan era Ali adalah era pertumpahan darah, Umar naik pitam

hingga saat Umar melamar Ummu Kultsum binti Ali, putri Ali dari Fathimah
Ali menerima dan berbahagia berbesan dengan seorang al Faruq

hingga saat kisah-kisah kejadian dimasa setelah Umar semakin jelas tergambar dihadapan
akan fitnah dan musibah besar yang gerjadi pada ummat islam selepas mangkatnya Umar
maka Umar senantiasa waspada

Dari sisi kepemimpinan paska Umar
Ali memang bukanlah pilihan utama bagi Umar
teks-teks menunjukkan bahwa Umar sangat menginginkan Abu Ubaidah bin al Jarrah atau Salim maula Abi Hudzaifah yang menggantikannya menjadi khalifah
takdir telah tertulis , bahwa keduanya wafat sebelum Umar

ketika tikaman menghantarkan Umar pada sakaratul maut
ketika informasi dikumpulkan
tiada dapat Umar menentukan siapa pemimpin sesudahnya
yang dapat Umar lakukan adalah memilih 6 orang agar duduk memutuskan menetapkan khalifah paska Umar

Ah meski demikian, meski Ali bukan pilihan utama dalam kepemimpinan
Umar sangat mencintainya dan memahami dengan seksama apa yang akan terjadi
ketika rakyat tidak sanggup menta’ati seorang pemimpin seperti Ali
ketika rakyat tidak sanggup ridha, bahagia dan melaksanakan kebijakan-kebijakan Ali
dan Umar melakukan pembelaan pada batas-batas apa yang mampu dilakukannya

Dalam mushannif Ibnu Abi Syaibah, no 37864
Dikisahkan seorang hakim diantara hakim-hakim tanah Syam, mendatangi Umar, mengisahkan bahwa ia bermimpi yang meresahkannya, ia berkata dalam mimpinya matahari dan bintang saling berbunuh-bunuhan, dan bintang-bintang ada pada kedua pihak sebelah-sebelah.

Umar segera memahami arah kisah yang diceritakan sang hakim
lalu Umar bertanya : “kamu ada dipihak mana?”

hakim menjawab : “aku ada dipihak bulan melawan matahari”

Umar lalu menjawab dengan sebuah takwil berdasar ayat : “Kami menjadikan malam dan siang sebagai dua kedigjayaan, lalu kami menghapus kedigjayaan malam, dan menjadikan kedigjayaan siang sebagai penerang” (al Isra : 12)

dari takwil ini, terlihat bahwa Umar mentakwilkan matahari adalah Ali, dan bulan adalah Muawiyah

lalu Umar berkata pada sang hakim : “pergilah, jangan pernah bekerja untukku lagi selama-lamanya”

dan sang hakim itu terbunuh di perang Shiffin, berada pada pihak Muawiyah….

Umar membuang sang Hakim,
tetapi tetap memakai Muawiyah, sebagai salah satu gubernur yang menguatkan pemerintahannya,
bagaimana tidak,
Muawiyah adalah suatu tanda kedigjayaan yang telah Allah tetapkan, ia adalah rembulan

dan jauh sebelum itu
Rasulullah, pernah melihat dalam mimpinya di malam lailatul qadar,
bahwa klan Abu Sufyan secara turun-temurun bergantian naik-turun dari mimbar Rasulullah
mimpi yang Rasulullah tidak suka

tetapi itu adalah suatu ketetapan Allah
maka, respon Rasulullah atas semua itu , adalah mendidik Muawiyah dengan seksama, dalam sisa waktu kehidupannya yang tiada lama lagi, Muawiyah dijadikan salah satu penulis wahyu…..
menorehkan al Qur’an dan kepahaman pada rembulan

Adapun imam Ali, yang Allah muliakan wajahnya,
ia adalah matahari menyengat, teguh dalam garis kebenaran
orang-orang kepanasan dengan sinar matahari

sungguh orang-orang lebih senang berdiri dibawah rembulan sempurna bulat
daripada dibawah terik matahari yang membakar

1 Ramadhan Tidak (mungkin) dua kali, setiap tanggal adalah sudah pasti

Kiamat kapan sih?

Apa jawabanmu?

Yang jawab hari jum’at betuul
Tapi Jum’at kapan? itu rahasia Allah

Demikianlah bahwa hari itu telah pasti, putaran ahad-senin-selasa-rabu-kamis-jum’at-sabtu,
Semua hari itu telah beredar sesuai rotasi hari-hari dengan benar.

Rasulullah menegaskan hal itu dalam haji wada’,
Kalender penetapan putaran hari telah benar.

Adapun penanggalan

Tidak ada yg tidak pasti dalam sistem penanggalan, ia adalah sesuatu yg exactly pasti di sisi Allah, dimana waktu berjalan menuju suatu titik hingga habis dan setelah itu perjalanan waktu pupus terhenti, tinggalah keabadian.

Dari sisi manusia, penanggalan yang tepat, adalah kerja hitung dan pengamatan,
Allah memberikan perangkat-perangkat agar manusia mampu menentukan tanggal-tanggal dengan benar sesuai apa yg terjadi di langit sana

Sistem kalender itu telah tercatat di lauh mahfuzh, Allah berfirman : “sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi Allah adalah 12bulan, di dalam sistem pencatatan (di sisi) Allah… (At taubah : 36)

Ayat ini menggambarkan, bahwa semua itu telah pasti,
Tanggal-tanggal adalah suatu kepastian,
Bahwa kalender akurat adalah kebutuhan bagi manusia,
Allah menantang manusia agar dapat menentukan dengan benar tanggal-tanggal,
Allah berfirman : “Dan Dialah Allah yang menjadikan matahari sebagai sinar, dan bulan sebagai cahaya, dan Dia menetapkan tempat-tempatnya, untuk mengetahui Hitungan tahun-tahun dan matematika semesta, Tidaklah Allah menciptakan semua itu melainkan dengan kebenaran, Allah senantiasa merinci tanda-tanda kebesaranNya bagi kaum yang selalu ingin mengetahui” (yunus:5)

Ada pula ayat yang senada : “Dan Kami telah menjadikan malam dan siang sebagai 2 petunjuk, Kami menghapus petunjuk malam dan Kami jadikan petunjuk siang sebagai waktu terang agar kalian mencari rizqi di siang hari dari Tuhan kalian, dan agar kalian mengetahui hitungan tahun-tahun dan matematika semesta, Dan segala sesuatu telah Kami detilkan dengan serinci-rincinya” (al Israa : 12)

Petunjuk itu ada, akal budi manusia yang harus mengambil kesimpulan yang tepat akan petunjuk-petunjuk

1 Ramadhan disisi Allah adalah suatu agenda besar,
Yang melibatkan semesta,
Ketika semua pintu langit terbuka,
Malam pertama Ramadhan, malam yg disambut suka cita para malaikat, tidakkah kita ingin bersuka cita bersama, menyambut dengan do’a terbaik, menyambut dengan amalan terbaik,

Tentang implikasi hukum,
Tentang kewajiban dan larangan,
Jika kita salah menentukan tanggal 1 Ramadhan,
Salah menetapkan tanggal 1 Syawal,
Kita pasti sama-sama meyakini, bahwa Allah Maha pema’af,
Kita mengenal instrumen kafarat bagi kesalahan,

Sungguh, permasalahannya adalah bukan hukum fiqh,
bukan surga neraka,
Ini adalah ketepatan dalam menyamakan kalender kita dengan keadaan dilangit sana,

Dimana setiap malam, setiap hari, keadaan berbeda, keutamaan berbeda,

Di malam 1 syawal saat Allah memberikan hadiah berlimpah bagi yang berpuasa,
Saat Allah mengumumkankan pahala yg diberikan,
pun kemudian Saat shalat ied ditegakkan,
Kabar gembira yang Allah sampaikan langsung, tentang pemaafan dan pengabulan,
Malam Itu bukanlah malam yg berulang 2kali,
Pagi ied tiada berulang dua kali
Perhitungan itu telah pasti,
Dalam setahun hanya ada sekali malam 1 Ramadhan, hanya ada 1 kali malam 1 syawal,
Dan tugas kita mencari yang tepat

Tentang perbedaan Ramadhan atau Syawal, atau bulan lainnya,
Seperti tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya,
Salah satu dari tanggal itu adalah benar, dan yang lainnya adalah salah, sampai kapankah?

Semoga kita dapat bekerja sama, membaca langit, menetapkan tanggal seakurat mungkin, menyesuaikan dengan apa yg terjadi di langit sana

Waffiqna Yaa Rabb

jaga kata (koreksi buat ustadz salim fillah)

Kata-kata ini manis, tapi lah kok saya worry ya,
Mencoba mencari referensi semisal dari hadits atau perkataan ulama salaf tapi kok ga nemu ya, mungkin ada yg nemu ? ….

Kata-katanya begini :
Siapa yang menjauh saat kebenaran lemah, dia tak diperlukan saat kebenaran kuat….

Adakah yang nemu, kata2 semisal demikian, sehingga tenang hatiku bahwa kita boleh berkata demikian?

Berdasar pehamanan saya

Dunia ini adalah pertarungan, pasti mengundang keberpihakan,

Dan kita adalah pejuang kebenaran, hingga kapanpun akan berharap banyak yang mendukung kebenaran,

Lupakah akan perang uhud? Saat lemah, banyak yang lari dari kelemahan, apakah Rasulullah mendoakan keburukan?

Lihatlah, saat perang hunain, tatkala bersisa 100 orang yg tsabat dalam perang,
Apakah sisanya didoakan buruk, atau misal tidak dipedulikan oleh Rasulullah….

Tsabatlah dalam berkata-kata,
Bertakwalah pada Allah dalam berkata-kata,
Adalah tabiat manusia menjauh saat lemah, dan datang saat kuat,
Dan kita pejuang kebenaran selalu mendo’akan kebaikan dan berharap yang terbaik bagi seluruh ummat manusia,

Juga tugas kita untuk tidak menunjukkan tanda-tanda kesombongan apapun,

Saat orang2 berduyun-duyun disaat kebenaran kuat, Allah memerintahkan kita bertasbih dan beristighfar,
Bukan mencemooh yg bergabung,

Bahkan saat perang sekalipun, Allah berfirman : “janganlah engkau berkata pada mereka yang mengucap salam : Engkau bukan orang mukmin!” (An nisaa:94)

Ini kritik dan taushiyah saya buat ustadz salim fillah yg membuat quote tersebut,
Quote nya makin banyak yg mengutip,
Semoga yg kenal atau membaca ini menyampaikannya pada beliau,

Kita adalah pejuang kebenaran, pewaris para nabi, menjaga kata adalah salah satu penyebab kemenangan

Jazakumullah khairan

Terhempas Badai (1-Bukan Suatu Akhir) – lanjutan Pengikat Surga

Satu : Bukan Suatu Akhir

“Kumandang Adzan menyadarkan aku yang tengah tenggelam dalam tangis. Apakah ini bencana bagiku? Perceraian ini, apakah boleh aku memandangnya sebagai bencana?
Apakah pernikahan itu karunia? Apakah menjadi sendiri itu mengurangi kemuliaan?”

Hari ini, sebelum kumandang adzan,aku merenungkan perceraianku dan seluruh kehidupanku berubah.

Sejak kehadirannya dalam hidupku aku begitu terpengaruh oleh dirinya. Saat-saat berada disampingnya, lelaki yang malaikat bahagia berpenampilan sepertinya, aku merasakan duniaku terpisah dari masa laluku, terenggutkan dari dunia yang pernah aku jalani. Namun meskipun aku merasakan pikiranku tercerai berai, seluruh keberadaanku tetap terpusat pada dirinya, sehingga kehadirannya menjalarkan pengaruhnya tidak saja pada jiwaku tapi pada setiap aspek kepribadianku.

Pengaruhnya begitu kuat sehingga sinar malaikat yang ada pada dirinya memancar menerangi relung jiwaku. Pijarannya tidak hanya indah tetapi memberikan kegemerlapan pada intelektualitasku.
Didalam cahaya seperti inilah aku menata hidupku, menenggelamkan diri, dan merasakan sentuhan sosok malaikat dibumi. Aku duduk diatas sajadah, memutar seluruh kenangan yang dapat kuhadirkan, pikirannku nyaris tak menyadari bahwa aku telah bercerai. Ketika semua kenangan itu sampai pada titik terendah, aku menemukan kata “aku menceraikanmu”.

Seluruh hidupku tengah berubah tatkala aku mengingat kembali kata-kata itu.Aku merasa sungguh-sungguh tak siap menghadapi segala apa yang menimpaku ini, dan begitu tak berdaya sehingga sejenak kemudian, sehingga beberapa saat sejak kata-kata itu kudengar aku menarik diri menuruti naluriku yang melindungi diriku dari kilatan petir kesedihan.
Dengan penuh rasa takut aku mulai menyadari perubahan yang terjadi disekelilingku, kemudian aku dikuasai perasaan kesepian yang mungkin saja pernah kualami, berbulan aku terdampar disuatu ruangan yang tidak aku ketahui dimana pintu-pintunya

Khadijah, putri sulungku mengetuk pintu, membuyarkan pikiranku.
Putriku seorang gadis cantik yang sepi, Aku merasa bersalah karena terpusatnya diriku pada dunia ayahnya menjauhkanku dari dunianya.

“Akankah ibunda shalat di Masjid Rasul?” Putriku bertanya

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, menyeka air mata dan mencoba tersenyum.
Ia menggenggam tanganku dengan erat, putriku kini mencoba mengenalku.

Kami bergegas menuju Masjid Rasulullah, AL Mundzir telah menunggu didepan pintu rumah, dan kami berangkat bersama.

Seusai shalat subuh aku memikirkan dua surat yang tadi dibaca imam, Al Hadid dan al Fajr. Dari potongan al Hadid sesuatu yang sederhana menjadi pemikiranku, apa yang dilihat mata adalah satu sisi, kita tidak bisa melihat sisi dibaliknya. Dalam falsafah kemunafikan yang tampak muka adalah kasih sayang, sedangkan dibalik semua kemanisan ada kedengkian dan kekejaman. Sehingga Allah mengabarkan, kelak bagi orang beriman sisi kasih sayang, sedangkan bagi orang munafik sisi penuh derita. Demikianlah segala sesuatu selalu memiliki dua sisi.

Lalu persepsi kita terhadap sisi yang dapat kita pandang, adakalanya sebuah persepsi yang benar, dan ada kalanya persepsi yang salah, Al Fajr mengingatkanku, seseorang yang berlimpah harta akan berpersepsi Allah memberinya karunia, dan jika hartanya berkurang akan berpersepsi Allah membuatnya terhina. Memiliki cara persepsi seperti itu adalah sesuatu yang harus dihindari.

Lalu bagaimana berpersepsi? Bagaimana memberikan pendapat pada keadaan-keadaan?

Khadijah menggoyang-goyang bahuku, aku menghentikan sejenak apa yang aku pikirkan.

“Ibunda, akankah mendengar kajian selepas subuh, atau kita berjalan-jalan?”

Aku menatap Khadijah, ia pun menatapku. Pandangannya dalam menembus pikiranku, putriku mencoba membaca setiap sudut kepala dan hatiku.

“sepertinya kita akan menikmati pagi Madinah bersama” aku bangkit dan mengulurkan tanganku padanya agar ia pun bangkit.

Khadijah tak melepaskan genggaman tangannya, semakin erat ia menggenggam, dan ia membuka bincang

“Aku dapat membaca pikiran ibunda, pikiran ibunda tentang aku, aku adalah anak yang hilang, bagaimana jika kukatakan justru ibundalah ibunda yang hilang?”

Aku menghela nafas, sejenak berpikir dan bergumam dalam hati “jika aku hilang, kemanakah aku selama ini? Dan jika putriku yang hilang, kemanakah ia selama ini? Jika kami sama-sama merasa kehilangan, siapakah yang merebut kebersamaan dari kami?”

Khadijah menekan telapakku dengan keras : “apa yang ibunda pikirkan? Jawablah yang aku tanyakan!”

“Mungkin persepsi kita yang salah tentang keadaan satu sama lain, telah menyebabkan kita merasa kehilangan” mendengar jawabanku Khadijah melepaskan genggaman tangannya dan berhenti melangkah.

“bagaimana jika kukatakan, aku memang sungguh-sungguh menjauh darimu, masihkah engkau akan berkata, saat engkau merasa kehilangan aku, itu adalah persepsi yang salah?”

“kau tidak menjauh dariku, yang terjadi adalah kau mencoba mengenal dirimu sendiri dan juga mengenal aku” kata-kata ini meluncur begitu saja dariku

“lalu tentang perceraian ini, tentang berpisahnya ibunda dengan ayah?” Khadijah menyelidik

“ahhh” aku menghela nafas, lalu kukatakan lelaki-lelaki bani taim, klan dimana aku berasal adalah lelaki yang penuh kelembutan, bahkan kukatakan flamboyan. Dan karakter ayahmu adalah karakter keras, pukulan yang sering mendarat ditubuhku adalah sesuatu yang tidak dapat aku terima di awal-awal pernikahan. Aku sering mengeluh pada ayahku, Abu Bakr, bahwa aku ingin bercerai”

“Ibu!! Benarkah?”

“jadi, ini adalah tentang manusia, aku mengeluh pada kakekmu” aku menatap putriku

“Dan nenek Shafiyyah mengeluhkan tentangmu pada ayahku” Khadijah mengucapkan ini parau

“Sudahlah jangan lagi kau ingat semua itu” wajahku sungguh memohon putriku

“Bagaimana aku tidak mengingat peristiwa yang membuatku dicampakkan nenek Shafiyyah, aku memilihmu ibunda” Khadijah menekan kalimatnya

“Tak ada permusuhan antara aku dan ibu ayahmu, aku mencintainya”

“Tapi ia selalu mengeluhkan sikapmu, mengapakah itu semua?”

“Ini adalah tentang hubungan manusia, terkadang mencapai puncak keindahan, tetapi mungkin juga tersungkur ke titik terendahnya” nafasku panjang dan dalam

“Bagaimana kakek Abu Bakr berpendapat tentang ayah”, raut penasaran memenuhi wajah Khadijah

“ayahku mencintainya, sebagaimana Rasulullah mencintainya” aku menatap Khadjah dalam

“tapi ayahku tidak berba’iat pada kakek, kecuali setelah Fathimah, pemimpin kaum wanita di surga wafat, iya kan? Kenapa ayah bersikap demikian?” Khadijah menyelidik

“kenapa engkau berbicara kesana kemari, bukankah kita ingin berjalan bersama memperbaiki hubungan kita. Maafkan aku, engkau berpikiran demikian kacau karena kita benar-benar tak pernah memiliki waktu bersama, kepalamu sangat kusut, ribuan permasalahan bercampur menjadi satu, kemarilah putriku, biarkan aku memelukmu”

Khadijah tak menyandarkan dirinya di pelukku, ia melanjutkan kata-katanya

“iya, aku kacau, aku sangat kacau, tapi jawablah dulu pertanyaanku, apakah kakek peduli dengan keluhan ibu tentang ayah?”

Aku menghela nafas, lalu aku menjawab Khadijah

“Hari berganti, dan Al Qur’an mendidik ayahmu, Rasulullah mencontohkan bagaimana bersikap pada keluarga, lalu sikap keras ayahmu semakin hari semakin hilang. Tapi dalam selang waktu itu, aku seringkali masih mengadu pada kakekmu, bahwa aku ingin bercerai”

“apa yang kemudian kakek lakukan”

“kakekmu bertanya berulang pada Rasulullah, dan kemudian satu kata yang kakekmu sampaikan padaku : “bersabarlah, istri lelaki shalih, dimana suaminya meninggal dan tidak menikah lagi, maka akan dikumpulkan di surga bersamanya”, ayahmu, penghuni surga, kakekmu ingin aku menghuni surga pula”

“apakah masih ada kesempatan bagi ibu menghuni surga? ibunda bukan istri ayahku lagi, ibunda bukan istri penghuni surga”

Aku menengadah ke langit, aku bertanya pada diriku sendiri : “Bisakah wanita meniti jalan kesurga tanpa menjadi pasangan seseorang?” Khadijah kini menggoyang bahuku, aku pun menjawabnya

“Allah tak pernah mengingkari janjiNya wahai putriku, aku beriman padaNya dan selalu berusaha mengerjakan amalan terbaik, sungguh Allah tidak mengingkari janjiNya”

“ya tentu saja surga bukan milik ayahku” Khadijah memainkan mimik wajahnya, lalu Kami tertawa terbahak bersama.

Kamipun melanjutkan perjalanan, dan menjalin ikatan seorang ibu dan putrinya yang tak pernah terjalin diantara kami. Bunda Shafiyyah, mertuaku mengasuhnya sejak bayi. Masa-masa kecilnya adalah masa dimana aku sangat tertarik dengan dunia luar, keinginan bunda Shafiyyah mengasuhnya tidaklah kukira sebagai sesuatu yang menyebabkan aku merasa Khadijah, putriku kehilangan.

“Khadijah! Apakah aku benar-benar ibu yang hilang?”

“ibu ingin mendengar kejujuranku?”

“tentu saja” aku meyakinkannya

“ibu tak pernah ada, dalam tangisku, bahkan dalam tangis bayi sekalipun, begitu yang terjadi pada kami kan? Terlebih aku dan al Mundzir. Berjihad lebih menarik bagi ibu, daripada merawat kami, aku mendengar ceritanya, ibu pergi ke Yarmuk begitu saat menanti kelahiran al Mundzir, bagaimana bisa? Tidakkah engkau mengkhawatirkan keselamatan bayi yang dalam rahimmu?” aku terkekeh mendengarnya lalu menjawabnya :

“Putra-putraku terlahir dalam perjuangan, aku mendaki bukit Tsur dalam kehamilan pertamaku, maka tidaklah sulit bagiku pergi ke medan Yarmuk dan aku dalam keadaan hamil. Yarmuk Madinah bukanlah perjalanan berbulan, aku pun dapat melahirkan dengan selamat di kota ini, kota penuh cahaya, dan apakah nenek Shafiyyah yang harus pergi berjihad?” Khadijah antara terkagum dan merenggut mendengar jawabku, ia lalu berkata

“Bagaimanalah engkau mengaturnya, tapi aku sungguh memerlukan ibuku, ibu yang berada disampingku dalam risauku, nenek Shafiyyah sama persis seperti ayah, tidak mengerti hati, aku wanita ibu!!”

“medan pertempuran mungkin telah berakhir bagiku, aku pasti akan selalu bersamamu, kita akan bersama-sama mempelajari banyak hal”

“benarkah?” Khadijah sangat girang

“Khadijah! Camkanlah, kita wanita muslim, adalah wanita mandiri yang saling bekerja sama, ada peran-peran yang bisa saling mengisi dan menggantikan, meski kau tak meminum air susuku, tapi wanita hebat lain memberikannya untukmu, Hasan cucu pertama Rasulullah bukanlah Fathimah yang menyusuinya, tapi Ummu Fadhl. Hasan terpisah jarak Mekkah Medinah untuk mendapat air susu terbaik dari wanita yang melahirkan seorang ahli agama. Dan kau pun tetap anak manusia, bukan anak kambing”

“ibuuuu! Aku kira ibu akan menasihatiku sesuatu yang sangat serius, ibuuuu” Khadijah memukuliku dan kami kembali tertawa bersama

Perjalanan tanpa terasa telah membawa kami kembali ke area mesjid Rasulullah. Kami melintas dipekarangan Aisyah, ia tengah bersama Ummi Kultsum, adik kami, mereka melambaikan tangan, Khadijah tak terlalu menyambut lambaian itu, ia sangat cemburu pada Ummi Kultsum, baginya seluruh perhatian bibinya terpusat pada Ummi Kultsum.

Aku menarik Khadijah untuk mendekati Aisyah, lalu aku bertanya pada Aisyah

“pelajaran apakah yang kau punya hari ini?”

“aku akan membacakan ayat ini : “hari itu bumi diganti dengan bumi yang lain dan lapisan langit yang lain pula , manusia-manusia menampakkan diri pada Allah yang Esa dan Maha Perkasa”

Aku lalu menyela perkataan Aisyah

“perasaan diganti dengan perasaan yang lain dan kebahagiaan yang lain pula, jika demikian segala sesuatu yang masih berganti maka itu bukan suatu akhir, sungguh bukan suatu akhir. Bukankah begitu?”

“apa berganti apa?” Aisyah balik bertanya padaku

“Kemarin aku merasa kehilangan, hari ini aku mendapatkan, maka perceraian yang menimpaku bukan suatu akhir” aku berkata dengan menelan ludah pahit

“Seperti penaklukan lautan, Umar melarangnya dan Utsman telah mengeluarkan izinnya” Aisyah berkata antara bahagia dan cemas

“Akhirnya kita memiliki armada laut, dan kau seakan memendam kerisauan, mengapakah?”

“Jika ilmu belum mendapatkan pewarisnya, maka hilanglah ia dengan wafatnya para cendekia” Aisyah menghela nafas panjang

“Abu Darda, pastilah ia yang engkau risaukan, tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan jihad yang ada dihadapan, menjadi pasukan laut pertama” aku seakan menginginkan berada dalam kapal-kapal digjaya itu

“Sesungguhnya aku tak merisaukan kematiannya, tetapi aku risau tiada yang mendengar apa yang ia sampaikan saat ketetapan Allah terjadi, apakah itu suatu kemenangan dari sisi Allah, atau tertahannya penaklukan”

“Entahlah Aisyah, tapi kukira Abu Darda akan kembali dari medan jihad ke Damaskus, kematiannya atas idzin Allah ada pada garis takdir kaum pemuka Khazraj, Para penjaga al Qur’an”

“Dan tentang yang kau katakan bukan suatu akhir, kau kehilangan, dan apa yang engkau dapatkan?” Tiba-tiba saja Aisyah bertaya

“aku mendapatkan kedekatan dan cinta dari putriku, Khadijah”

“kukira perceraian bukan akhir cintamu dengan az Zubayr, kukira bukan suatu akhir” Aisyah meledekku

Dari bertikai menjadi Berlomba

Ketika pertikaian dan perselisihan berubah menjadi persaingan sehat dan perlombaan dalam kebaikan, itulah suku aus dan khazraj

Jika situasi memanas maka mereka akan menyebutkan keunggulan-keunggulan yang ada apada mereka :

Aus berkata pada Khazraj, kami memiliki 4 syuhada keren yang tidak kalian miiki :

1. Sa’ad Bin Mu’adz dimana arsy bergoncang dengan syahidnya

2. Hanzhalah bin ABi ‘Amir, dimana malaikat memandikan jenazah tubuh syahidnya

3. ‘Ashim bin ABi Tsabit, dimana daging tubuhnya terjaga dari pembusukan

4. Khuzaimah bin Tsabit, dimana syahidnya dihitung sebagai kesyahidan 2 orang, mendapat pahala dua orang syuhada

 

Kalangan Khazraj kemudian memandang apa yang ada pada diri mereka,

ohw, kaum Khazraj memiliki para penghafal al Qur’an yang diapprove Rasulullah : Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zayd bin Tsabit, Abu Darda …. kesemuanya dari kalangan Khazraj

 

Dimanakah potensi terbaik kita, temukan dan bangun korps terbaik?

ketika menemukan potensi terbaik, tidak lah elok melupakan peluang ama lainnya, para kaum Khazraj tetap ikut serta dalam jihad hingga ajal menjemput, misal Abu darda yang turut dalam penaklukan Cyprus dimasa Utsman. Demikian pula kalangan Aus tetap berjuang berdekatan dengan al Qur’an.