Terhempas Badai – 50 (Rasa Takut yang Berguna)

Lima Puluh : Rasa Takut yang Berguna
    Pembicaraanku dengan Hafshah belum selesai ketika Ibnu Umar datang, wajahnya gusar, kegusaran yang tidak akan ditangkap banyak orang, namun selalu aku lihat, ia yang tidak pernah bisa memutuskan untuk berada di pihak mana. Keberpihakannya adalah hanya pada rangkaian kata-kata Rasulullah yang terhujam dalam pikiran dan hatinya.
    Tapi itu semua sesungguhnya adalah puzzle yang belum tersusun dengan rapih, seringkali kita menemukan dibagian mana sesungguhnya satu kata dari baginda Rasulullah harus diletakkan dan dipergunakan dalam kehidupan justru ketika kesalahan telah dilakukan. Kesalahan demikian telah dirasakan dengan mendalam oleh adikku, Aisyah. Semua ucapan-ucapan Rasulullah tentang rentetan peristiwa mulai dari terbunuhnya Khalifah Utsman hingga fitnah-fitnah yang terjadi sesudahnya tak dapat dipahami Aisyah kecuali setelah semua terjadi. Duhai penyesalan yang tidak pernah menjadi pembuka suatu peristiwa.
    Dan kini Ibnu Umar, Ia yang seakan tidak menunjukkan sikap apa-apa pada setiap peristiwa yang terjadi. Berdiam saat peristiwa Jamal, hening saat peristiwa Shiffin. Kini keadaan memuncak. Awan telah teramat hitam pekat dan berat, siap memenuhi bumi dengan tetesan-tetesan yang bisa jadi adalah justru kucuran darah. Ia datang pada Hafshah bertanya dengan tatapan yang menggambarkan “apa yang harus aku lakukan?”
    Kami semua telah mengetahui bagaimana Hasan putra Ali akan bersikap, penghulu pemuda surga itu lebih mencintai akhirat. Kata-kata Hasan telah membuat Habib menyadari batas-batas keberpihakan. Ia mencintai Muawiyah, sangat.
    Bagi Habib, Muawiyah adalah sesosok pemimpin yang melahirkan kemenangan, ketajaman menganalisa dan memutuskan, seluruh kelihaian Bani Umayyah tertumpah pada pribadi Muawiyah. Jika tanah mesir bangga dengan para Fir’aunnya, kedigjayaan Romawi kagum dengan para Kaisarnya, bumi Persia takjub dengan para Kisranya, maka Muawiyah adalah jelmaan semua harapan dan mimpi bangsa arab akan karakter pemimpin.
    Habib selalu mengingat ejekan-ejekan orang Persia bagi bangsanya, bangsa arab. Saat itu ia baru berusia lima atau enam tahun, udara Mekkah masih diliputi api permusuhan pada baginda Rasul, ia melihat bagaimana kafir Quraisy ketika itu menyiapkan pasukan perang Parit.
    Habib bertanya-tanya akankah kota kosong, semua ingin menyerbu kota kecil di utara Mekkah, mengapa? Pertanyaan yang menghantarkannya mengenal sosok Rasulullah, orang yang meniupkan udara kedigjayaan. Suatu kedigjayaan atas nama Allah yang diliputi kesetaraan dan keadilan. Bahwa kota-kota Persia akan ditaklukan, bahwa kota-kota Romawi akan ditaklukan.
Mungkinkah?
    Sementara orang-orang Thaif jika bercakap di kedai-kedai kopi mereka mengisahkan perjalanan Harits bin Kildah ke Madain di negeri Paris, Harits seorang dokter arab dari Thaif yang bisa menjumpai Kisra Anusyirwan.
“apa pekerjaanmu?” Kisra bertanya
“aku seorang dokter” Harits menjawab
“Bukankah kamu seorang arab kampung?” Kisra keheranan dengan jawaban Harits
“ya, aku orang arab kampung, dari jantungnya arab kampung” Harits tetap menjawab dengan tenang
“memangnya orang arab menghormati profesi dokter, mereka kan bodoh, lemah akal, makan makanan yang tidak bergizi, bagaimana?”
    Ucapan yang seharusnya sudah membuat Harits naik pitam, tapi kisah ini pun selalu kukenang, akupun mendengarnya dari orang-orang Thaif yang bangga dengan cara Harits menghadapi kepongahan Kisra. Jika kisah yang Habib dengar sama dengan seperti yang aku dengar maka kelanjutannya akan seperti ini
“Wahai tuan raja, jika benar orang arab memiliki sifat-sifat seperti yang engkau katakan, maka mereka sangat memerlukan kehadiran dokter yang akan mengobati kebodohannya, meluruskan kebengkokannya, serta membimbing jiwa dan raganya. Sesungguhnya seseorang yang berakal akan mengetahui hal-hal yang benar dan baik dengan sendirinya, mengetahui letak-letak penyakit dan menyembuhkannya sendiri, dan demikianlah orang pintar mengatur segala sesuatu untuk dirinya sendiri”
Kisra Anusyirwan terbelalak kagum dengan ucapan Harits, ia lalu berkata
“bagaimana kamu bisa mengetahui hal-hal yang engkau sebutkan, bukankah kebijaksanaan tidak cocok berada pada tempat-tempat kebodohan?”
Harits masih memiliki kata-kata untuk menjawab : “Akal dan kecerdasan adalah pemberian Allah, ia dibagi-bagi sebagaimana rizqi dibagi-bagi, maka ada suatu bangsa yang secara umum mereka digjaya, tetapi kita tetap saja akan menemukan adanya diantara mereka berbagai tipe manusia, kalangan pandai, kalangan kaya, kalangan miskin dan kalangan bodoh, ada kalangan kuat dan ada kalangan lemah. Semua itu adalah ketetapan dari yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.
“wow, wow, wow, eloknya yang engkau katakan, lalu apa yang engkau banggakan sebagai orang arab?” Kisra menyelidik
“mereka adalah bangsa yang dermawan, memberikan seluruh apa yang dimiliki, bangsa yang jelas dan benar nasabnya, bangsa yang fasih bahasanya, dan lisan yang tepat sasaran dalam menyampaikan, tutur kata mulia yang lebih lembut dari terpaan angin musim semi. Bangsa yang tiada gentar dalam peperangan, tekad yang tidak pernah menciut jika telah dipancang, hingga tiada yang sanggup melewati batas-batas kehormatannya, dan tidak dihinakan orang-orang mulianya”
    Kisra Anusyirwan terdiam dan mengakui semua ucapan Harits, lalu mereka bercakap-cakap tentang ilmu kedokteran, maka Harits mendapat tempat terpuji dimata Kisra.
    Kisah ini kudengar dihari-hari beliaku di Mekkah, apa yang Habib pikirkan bisa jadi adalah seperti yang aku pikirkan sewaktu aku mendengar kisah ini, ilmu, ilmu dan ilmu. Tiada jalan kesetaraan dengan bangsa-bangsa kecuali dengan ilmu. Lalu semua itu ada pada diri Muawiyah. Ia telah mengaguminya sejak masa kecilnya.
    Penaklukan Mekkah adalah kebingungan bagi Habib kecil, apa makna semua kemenangan baginda Rasul dan para pengikutnya? Habib tak mengerti.
    Habib menyaksikan bahwa idola kecilnya, Muawiyah mengucap dua kalimat syahadat, persaksian akan adanya satu sembahan dan adanya utusan Tuhan. Ini keimanan.
Keimanan, suatu titik yang hingga hari ini masih menjadi kubu ekstrim dalam pikiran dan hati Habib. Pikiran Habib didalamnya ada tiga sisi : keimanan, ilmu dan kekuasaan.
    Hasan dan Habib selepas Shiffin, mereka bertatapan tajam. Kata-kata Hasan sudah dapat dipastikan mengganggu pikirannya, titik-titik keimanannya tepat dikenai kata-kata Hasan.
    “Seseorang berjalan, tanpa terasa berjalan di jalan tidak ta’at pada perintah Allah dan RasulNya” Hasan membuka kata
    “Sungguh, apa yang aku lakukan dengan memerangi ayahmu, bukanlah dalam jalan ketidak ta’atan pada Allah dan RasulNya” Habib menjawab antara yakin dan tidak.
    “hei, hei, hei, wahai Habib, bagaimana kau berkata tidak, sedangkan engkau menta’ati Mu’awiyah untuk urusan dunia, tidakkah kau mengerti akan sifat urusan dunia? Kelak Engkau adalah orang yang sebagaimana ayat ini gambarkan “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(At taubah : 102). Adapun dirimu hari ini adalah sebagai mana yang ayat ini gambarkan : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka” (Al Muthaffifin : 14)
    
    Ohh, Hasan, engkau berhasil merubah warna wajah Habib, tetapi kau tidak dapat merubah rasa cinta Habib pada Muawiyah. Dari bincangmu dengan Habib justru kami telah dapat mengira apa yang akan engkau putuskan, tentang ini, tentang kepemimpinan yang kini ada dipundakmu.
    Dan kini, disini, Ibnu Umar menatap kakak perempuannya tertua, menatap Hafshah dalam-dalam. Berdiri tegak dalam rapuh, dengan beribu tanya diwajahnya.
“Pergilah, sesungguhnya orang-orang menunggumu, aku khawatir tatkala engkau lagi-lagi terdiam tak memperlihatkan batang hidungmu, maka kesatuan yang didepan mata akan terpecah kembali”
    Ibnu Umar tak beranjak, ia hanya menatap Hafshah, dan Hafshah tak berhenti mengucapkan kata-kata yang sama.
“Pergilah, sesungguhnya orang-orang menunggumu, aku khawatir tatkala engkau lagi-lagi terdiam tak memperlihatkan batang hidungmu, maka kesatuan yang didepan mata akan terpecah kembali”
    Airmata tanpa terasa membasahi pipi-pipi kami, ini adalah keputusan yang sangat berat, 30 tahun berlalu sejak baginda Rasul wafat, kata-katanya akan menjadi kenyataan. Kami menyaksikan dan tidak dapat berbuat apa-apa. Syarat apapun yang disampaikan Hasan pada Muawiyah, tidaklah akan merubah makna hari ini. Detik bergantinya corak kepemimpinan.
    Ibnu Umar membalikkan badan, langkahnya tak pasti, ia harus menelan pil pahit atas sikap-sikapnya terdahulu. Sifat takdir yang semakin dipahaminya.
    Lalu bagaimana dengan putra-putraku, bagaimana putra-putra az Zubayr yang lainnya? Mereka tak akan bisa memahami Muawiyah sebagaimana Habib mencintainya. Abdullah tidak pernah mengenal rasa tidak percaya diri bangsa arab. Ia adalah putra tanah cahaya. Harga dirinya ditegakkan dengan kebenaran islam. Siapa yang layak memimpin adalah siapa yang Allah restui, jalan-jalan menegakkan kepemimpinan yang benar sangat jelas dihadapannya. Sumber kebenaran itu dari Allah, kekuatan itu dari Allah. Selera manusia dalam kepemimpinan bisa benar dan bisa salah, maka tidak bisa mengikuti selera manusia.
    Sepertinya peristiwa yang menimpa Abu Al Hasan dalam kepemimpinannya, belum dapat dicerna dengan benar oleh Abdullah. Ali adalah gerbang ilmu, tapi ternyata tidak cukup menjadi perayu manusia untuk ta’at dan tunduk padanya.
    Adapun Muawiyah, segalanya seakan berkumpul padanya, ilmu, kekuasaan, keimanan. Tiada sulit baginya menaklukan hati manusia hingga bisa menguasainya. Rahasia kekuasaan yang perlu dipelajari seorang pemimpin.
    Air mata masih membanjiri pipi-pipi kami, Diwaktu itu sewaktu pulang haji, ditahun Utsman terbunuh, hampir-hampir saja aku dan Hafshah ikut serta bersama Aisyah, melaju ke medan Jamal. Kata-kata keras dari Ummu Salamah menyelamatkan kami dari terhempas dalam badai, dan kamipun teringat pada ucapan Aisyah yang menyayat-nyayat jiwanya “seandainya aku telah diwafatkan sebelum peristiwa Jamal”, tangis yang semakin menjadi menghadapi kenyataan bahwa ujung semua kegaduhan ini adalah lahirnya raja yang memimpin ummat Islam. Beginilah ternyata kelahirannya.
    Sekonyong-konyong Ibnu Umar telah kembali berada di ruangan ini bersama kami, kehadirannya baru kami sadari tatkala pintu diketuk dengan cukup keras. Habib datang mengikuti Ibnu Umar dan Hafshahpun masuk ke kamarnya.
    Habib memeluk Ibnu Umar, ada kekaguman dimatanya.
    “Wahai putra al Faruq, aku tahu engkau ingin mengatakan sesuatu, kenapa kau tidak menjawab pidato Muawiyah sebagaimana yang ia minta?” Habib menyelidik
    Ibnu Umar menghela nafas panjang
“kata-kata itu hampir keluar dari kerongkonganku, aku akan berkata : “wahai Muawiyah sesungguhnya yang lebih berhak dalam urusan kepemimpinan ummat Islam adalah orang-orang yang memerangimu dan memerangi ayah dan kakekmu dengan alasan islam” tapi aku takut mengucapkan kata-kata yang memecah belah kesatuan, kata-kata yang menumpahkan darah, dan orang-orang memahamiku secara salah. Maka aku mengingat surga dan apa-apa yang Allah janjikan”

ujung terhemas badai ….. bismillah

Leave a comment