Para Pencerabut Keberkahan

Saat tak semua mata memiliki kekuatan yang sama
Saat Rasionalitas meraja, dan mereka para pengindera keajaiban tak lagi didengar kisah-kisah uniknya
Itulah masa berjayanya para pencerabut keberkahan.

Ada kekecawaan mendalam dimata Abu Hurairah kepada para Pencerabut Keberkahan
Kantung kurma ajaibnya telah terjatuh
Kantung kurma yang telah sanggup membuatnya berderma lima belas juta liter kurma
Semuanya adalah derma bagi keluhungan agama Islam, derma untuk menggapai cinta Allah.

Kantung kurma yang ikut terkulai bersama terbunuhnya Sang Dua Cahaya
Ketika malaikat-malaikat pengusung keberkahan tak sudi lagi memenuhi kota Medinah, kota cahaya.
Hingga malaikat penjaga kantung ajaib Abu Hurairah turut pergi, kembali ke langit tinggi

Tugas malaikat-malaikat keberkahan itu telah selesai tepat disaat para pencerabut keberkahan menusuk-nusuk Sang Dua Cahaya di urat-urat nadinya, hingga hampir-hampir saja seluruh malaikat keberkahan meninggalkan Madinah, andai Nailah tidak berhasil mencegah Para Pencerabut keberkahan memenggal kepala Sang Dua Cahaya.

Nailah, jeritannya di subuh itu telah menyelamatkan kepala mulia milik Sang Dua Cahaya,
Lengkingan yang membuat beberapa sudut kota Madinah masih dijejaki malaikat keberkahan.

Abu Hurairah bersenandung lirih menyaksikan kerobohan rumahnya :
Tiga keburukan besar yang menimpa hidupku
Telah terjadi semuanya
Adalah keburukan bagiku saat aku menyaksikan wafat Rasulullah
Betapa celaka aku ketika Sang Dua Cahaya terbunuh dan aku ada di dekatnya
Lalu keburukan ketiga tak ingin lagi menunda kedatangannya
Kantung kurma ajaib telah terjatuh dan terbang entah kemana

Senandung yang mengingatkan pada suatu peristiwa kelaparan
Hari itu kami tak memiliki apa-apa
Kelaparan tengah melanda
Ketika Rasulullah bertanya pada Abu Hurairah : “apa yang kau miliki?”
ABu Hurairah lalu datang dengan kantung berisi beberapa biji kurma
Rasulullah lalu memasukkan tangannya kedalam kantung
dan yang keluar adalah segenggam kurma
Rasulullah lalu meminta ABu Hurairah memanggil sepuluh tentara
Para tentara itu melahap kurma hingga mereka kenyang

Lalu Rasulullah memasukkan kembali tangannya kedalam kantung
dan mengeluarkan segenggam kurma, kembali memanggil sepuluh tentara, terus demikian hingga seluruh anggota pasukan tak lagi kelaparan

Sejak hari itu, kantung ajaib yang diberkahi itu tak pernah berhenti mengeluarkan kurma
Hingga ia sampai pada takdirnya di hari ini, tugasnya telah selesai.
Takdirnya hingga Sang Dua Cahaya menghembuskan nafas terakhirnya

Kisah mereka yang Murtad di zaman Rasulullah (1)

ini kisah yang paling menyadarkan saya, tentang pentingnya “mengenal” dan memahami kedudukan setiap manusia.

Manusia sebagai makhluq Allah, apapun agamanya
lalu memahami hak setiap muslim
memahami hak-hak setiap mukmin
mencoba mengenal kedudukan setiap mukmin dihadapan Allah

kisah ini, benar-benar membuka mata
kisah yang membuat memahami betapa suatu kondisi adalah kompleksitas
kisah yang mengajarkan bahwa kita harus mempelajari bagaimana merespon suatu peristiwa
kisah yang membuka mata bahwa setiap pribadi memiliki posisi dan kedudukan dimata Allah
menyadarkan kesejatian bahwa semua urusan kelak dikembalikan kepada Allah
adapun di dunia, maka semua berjalanlah sesuai dengan batasan yang telah Allah tetapkan

Utsman bin Affan punya saudara susuan yang bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin
Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin, ia telah masuk islam sewaktu di Mekkah,
bahkan memiliki tugas mulia : mencatatkan wahyu.
Ternyata Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin “mempermainkan keislamannya”
ia mencatat wahyu sekehendak hatinya, Jika Rasulullah menyampaikan bahwa ayat tersebut ‘aziizun hakiim
Abdullah suka menulis ‘aliimun hakiim
lalu murtad, dan berkata kepada orang-orang kafir bahwa “agama jahiliyyah” lebih baik daripada islam.

saat futuh Mekkah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin lari, takut dibunuh dan kemudian meminta jaminan keamanan kepada Utsman.
Utsman lalu menyembunyikannya hingga keadaan tenang.
setelah kondisi tenang, Utsman membawa Abdullah kepada Rasulullah SAW.
Saat datang Rasulullah terdiam tidak menjawab dalam jangka waktu yang sangat lama.
keadaan menegang ….. tetapi kemudian tegangan menurun dan Rasulullah mengeluarkan jaminan keamanan bagi Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin.
Utsman dan Abdullah kemudian pamit.
Setelah keduanya pergi, Rasulullah kemudian berkata : “aku terdiam sangat lama, karena berharap salah satu dari kalian berdiri membunuh Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin”
Seseorang diantara mereka berkata : “kenapa engkau tidak memberi tanda kepada kami”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Adalah haram bagi seorang nabi untuk membunuh dengan cara memberi tanda, Seorang nabi diharamkan berkhianat didepan mata”

(AL Kamil Fi at Taarikh, Ibnu Al Atsier, jilid 2 hal 123… cetakan Daar el kutub el arabi)

Peristiwa ini bisa ditafsirkan macam-macam,
bisa dangkal, bisa menyimpang

adalah tugas kita menyuarakan kejernihan.
memahami teks dan konteks
memahami dengan integral

dari kisah ini, banyak yang dapat saya ambil
1. Pentingnya memahami prosedur dan adab-adab yang Allah tetapkan dalam segala sesuatu, dan lalu menerapkannya setiap keadaan yang sesuai terjadi
2. menjaga batas-batas kewenangan, memahami peran dan posisi

ahhh, malam ini titik kritis itu kembali ditemukan

Abdullah bin Sa’d Abi Sarhin menjadi kunci ditaklukannya Afrika, menjadi kunci penyebaran islam di Afrika
sungguh semakin ingin melihat apa yang akan terjadi di esok hari
saat semakin takjub dengan keadilan dan kebijaksanaan di pengadilan Allah

kisah unik ini, semakin membuat mau membaca kompleksitas kehidupan
mengenal manusia dan prahara-prahara yang menimpanya

Allahumma Shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad
dan
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada seluruh kaum beriman

Ferouzain (Gen 1 – Rahim 1)

Ferouzain

Gen (1)

Wanita mulia itu tertidur lelap meski sekejap, lalu dua pertiga malam membangunkannya, seakan ia menatapku. Matanya seakan berkata padaku : engkaukah cahaya? Ia bangkit, melangkah dengan beratnya. Tentu saja ia melangkah berat, Dua ikatan syaithan masih melekat ditubuhnya.

Ia menuju peti kayu berukiran berlapis emas, membukanya dengan penuh rasa penasaran, dibukanya gulungan tulisan yang ia terima dari ibundanya, Ini wasiat kakekmu _Umar Bin Khatthab_ pada ayahmu “Nikahilah wanita ini, darinya akan lahir keturunanku yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana mereka memenuhi bumi dengan kedzaliman”

Ya, Umar Bin Khatthab menyuruh putranya untuk menikahi ibunda wanita itu.

Ia kembali menatapku, bisakah ia menatapku?

Ia lalu mengelus perutnya, dan bergumam Kehamilanku yang pertama tidaklah diringi cahaya demikian benderang, dalam hari-hari ini takdir janinku akan ditentukan, apakah ini malamnya? Malam penentuan takdir? Lalu apakah ini keturunan Amirul Mukminin yang akan memenuhi bumi dengan keadilan?

Ia ingin malam segera berlalu, ia dengan bersegera akan menjumpai Abdullah Bin Umar Bin Khatthab, pamannya yang sangat menyayanginya.

Ia menyimpan lembaran yang telah dibacanya diatas meja, lalu melangkahkan kaki mengambil air wudhu, dan setelah itu, langkahnya tak lagi terlihat berat, ia telah melepaskan ikatan syaithan yang kedua. Ia berjalan menuju mihrabnya dengan menatapku, seakan melihatku, tatapan yang kemudian berlalu dariku dan hanya terarah pada tempat ia akan bersujud.

Saat menyelesaikan dua raka’atnya, Ia kembali menatap ke tepi kanannya, lekat-lekat ia menatapku, seakan melihatku, lalu ia menatap lembaran yang tergeletak dimejanya. Ia bangkit dari sajadahnya dan duduk didepan mejanya.

Lembaran itu ditatapnya lekat-lekat, lembaran yang seakan bercahaya, ia begitu terpengaruh dengan apa yang tertulis dalam lembaran itu. Lebih terpengaruh dari sebelum-sebelumnya. Pengaruh yang begitu kuat hingga gelombang cahaya tampak menghiasi wajahnya. Ia kini yakin bahwa kehidupan baru yang ada dalam rahimnya adalah keajaiban yang dinanti-nanti.

Lembaran yang kini ditangannya tampak sangat istimewa, Ia menatap ke sekeliling kamarnya, cahaya berkilauan disetiap penjuru kamarnya, Ia menerima dengan sepenuh sukacita dan penasaran, bagaimana kehidupan baru akan menjalani takdirnya.

Matanya tampak membuka lorong waktu,  mata yang menggambarkan segala keajaiban kehidupan baru yang dibawa kata-kata firasat sang Amirul Mukminin. Lorong waktu membawanya ke beberapa tahun yang tak disinggahinya, ia teringat pada kebetulan yang membawa ibundanya menjadi menantu Umar Bin Khatthab.

Ibu wanita itu adalah putri penjual susu, seorang gadis belia Bani Tsaqif. Dalam gulita, sepi senyap, hanya terdengar suara angin padang pasir pembawa udara dingin, Khalifah Umar berjalan berkeliling ke seantero kota. Kegiatan rutin yang tidak disadari oleh rakyatnya. Sayup-sayup Umar mendengar suara gadis cilik. Ia dengan santun mencegah ibunya mencampur susu dengan air. Umar mendekat ke pintu rumah, dan semakin jelas, gadis cilik itu bersungguh-sungguh meyakinkan ibunya agar tak mencampur susu dengan air. Sang Khalifah terpikat pada kejujuran, saat itu pula ia memutuskan akan melamar gadis itu untuk putranya ‘Ashim.

‘Ashim putra khalifah Umar, ayah dari wanita yang seolah-olah dapat melihatku, wanita itu mendapat kemuliaan, menjadi cucu lelaki yang ditakuti setan, bahkan ia menjadi keponakan kesayangan Abdullah putra Umar. Sebuah ingatan melekat, ingatan akan cerita bagaimana ibundanya menjadi pilihan Umar, cerita yang mengukir kesan mendalam akan khasiat mujarab kejujuran bagi kehidupan.

Saat ia kembali membaca lembaran firasat itu, seberkas rasa takut tergambar di wajahnya, sang Amirul Mukminin berkata pada ‘Ashim ayahnya : “Nikahilah wanita ini, darinya akan lahir keturunanku yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana mereka memenuhi bumi dengan kedzaliman”

Potongan terakhir firasat Umar “sebagaimana mereka memenuhi bumi dengan kedzaliman “ membawanya pada peristiwa 15 bulan lalu, peristiwa dimana bumi dipenuhi dengan kedzaliman, saat itu, sang pemimpin pemuda surga, Husein putra Ali Bin Abi Thalib dibunuh. Peristiwa dimana pertangung jawabannya melekat sangat erat pada klan Umayah, dimana janin wanita itu adalah bagian dari mereka. Wanita itu lalu berguman sambil mengelus janinnya :  “Jika aku tak menikah dengan Abdul Aziz putra Marwan al Umawy, firasat khalifah Umar ini mungkin tak akan terjadi terlalu cepat, Janinku! sambutlah takdirmu dengan penuh kehati-hatian, kau dilahirkan dalam segerombolan kedzaliman”

Dalam cahaya yang memenuhi kamarnya, ia begitu ngeri pada lintasan-lintasan yang seolah ia lihat begitu nyata, mayat-mayat bergelimpangan di Karbala, kepala-kepala yang terpisah dari tubuhnya, darah-darah segar mengalir deras merubah warna tanah Karbala. Mulutnya, lututnya, seluruh tubuhnya lalu bergetar, Yazid!!! Apakah engkau manusia?

Kini lorong waktu membawanya kemasa depan, apa yang akan terjadi di Madinah, kota penuh cahaya? Gelombang penolakan terhadap gubernur yang diangkat Yazid sang khalifah dzalim semakin meluas. Pandangan kebencian diarahkan kepada setiap klan Umayah, termasuk kepada keluarganya. Meskipun untuk dirinya sendiri, orang-orang masih tersenyum dengan tulusnya, bagaimanapun ia cucu khalifah Umar, yang adil dan perkasa. Meski demikian matanya melahirkan pertanyaan : Apakah janinku akan lahir dengan selamat?

Ia bangkit dari meja dan menyandarkan keningnya pada kaca jendela, ditatapnya bintang-bintang yang berkerlap-kerlip diangkasa, ditatapnya jam pasir dekat dipannya, satu jam lalu saat cahaya di duapertiga malam membangunkan tidurnya, cahaya-cahaya yang diutus Pemilik Semesta membawa takdir janin yang dikandung rahimnya. Lalu ia kembali menatap langit, tersenyum dan bergumam : “akan kutunaikan tugas ini sebaik-baiknya”. Lalu ia menatapku penuh arti seolah-olah ia dapat melihatku dan berkata padaku : “Jagalah putraku sebaik-baiknya”

Tatapan itu menyedotku untuk memasuki rahimnya, dan akupun bersatu bersama cahaya-cahaya kebaikan yang dimiliki wanita mulia ini.

Rahim (1)

Mantu Khalifah Umar itu baru saja menjadi bakal manusia dalam rahim bundanya. Saat itu, saat kegelisahan meliputi klan Tsaqif di tanah Thaif. Janin yang tumbuh dalam aura ketakutan, tekanan sekaligus harapan.

Ayah janin itu, Sufyan putra Abdullah, tak dapat duduk dengan tenang, istrinya mengajaknya duduk, bersiap mendengarkan apa-apa yang menggelayuti pikiran suaminya tercinta.

Sufyan bercerita, disetiap hari matanya memandang hamparan kebun-kebun anggur, dan ia menatap wajah-wajah gundah, mengamati dengan seksama setiap aura wajah. Setiap saat Sufyan mendengarkan hembusan-hembusan kabar, dan ia menyimak nada-nada yang mengalun dari bibir-bibir saudara seklannya, nada penyesalan sekaligus gemuruh hasrat untuk memutuskan suatu keputusan besar.

Ia mengenang Urwah putra Mas’ud, sahabatnya dan anak emas klan Tsaqif, beginikah akhir kehidupan sang putra tercinta yang dibanggakan klan tsaqif? Urwah dibesarkan seluruh klan dengan kebanggaan, setiap detik kehidupannya adalah kemuliaan dan kenyamanan. Tiada seekor lalatpun yang berani mengganggu Urwah, seluruh klan Tsaqif akan membelanya. Dan apa yang terjadi kini adalah pertanda dunia telah berubah.

Hari itu langit Thaif mendung bukan pertanda hujan, tapi langit gelap oleh angkara durjana. Berbulan sejak Muhammad sang Nabi Quraisy mengepung Thaif _sebuah pengepungan yang gagal_, tiba-tiba saja Urwah mengumumkan keislamannya. Disaksikan banyak mata, hujan anak panah mengepungnya, darah mengalir deras dari dadanya dan Urwah pun tersungkur.

Thaif menyongsong perubahan, begitulah angin yang berhembus di Thaif. Sufyan meyakininya, hembusan angin yang terasa hingga ke Jantung, menembus kulit, daging dan tulang hingga ke jantung. Angin perubahan yang kemudian turut mengalir dalam darah orang-orang Thaif yang mulai berpikir. Sufyan berkeliling diluar benteng Thaif, ia berjalan menjauh dari benteng, lalu membalikkan badannya memandang kemegahan benteng, peristiwa pengepungan tergambar jelas dimatanya. Muhammad tak dapat mendekati benteng, selangkah saja melampaui radius panah panah api, bersiap saja menyambut hujan panah dan api. Beberapa anggota pasukan Muhammad terkena senjata tercanggih yang dipersiapkan mempertahankan Thaif dari berbagai serangan.

Sufyan menggenggam telapak lembut istrinya ia melanjutkan kisahnya. Ia kembali bergerak dan melewati tempat dimana anggota pasukan Muhammad yang gugur dikubur. Urwah, sahabatnya dimakamkan disana pula.

Ini adalah tahun ke sembilan sejak Muhammad terusir dari kampung halamannya di Mekkah. Sebelas tahun lalu, konon Muhammad minta perlindungan ke tanah Thaif, dan ia malah mendapat lemparan batu.

Setahun telah berlalu sejak Muhammad merebut otoritas Mekkah, ia yang dulu terusir kini menjadi penguasa Yatsrib dan Mekkah, bahkan bukan itu saja, seluruh Jazirah Arab telah tunduk dalam otoritasnya, Klan-klan arab telah bersumpah setia membuka setiap jengkal tanah Arab untuk seruan Islam. Terkecuali tanah Sufyan, tanah Thaif yang berbenteng kokoh, masih tegak dengan berhala-berhalanya.

Sufyan kembali ke benteng, bergegas menemui orang-orang penting tanah Thaif, ia harus berjuang keras mencegah kedatangan kembali Muhammad dan pasukannya untuk merebut Thaif. Ia meyakini jika seluruh Jazirah Arab telah bersumpah setia pada Muhammad, maka kejatuhan Thaif tinggal menunggu detik-detiknya.

Sufyan yang tengah duduk bersama cahaya hidupnya, membenamkan kepala dipangkuan wanita yang dicintainya. Mata Sufyan menggambarkan isi kepalanya, ia membayangkan perang dan kebun-kebun Thaif yang subur, perang dan wanita-wanita Thaif yang bak bidadari, perang dan anak-anak Thaif yang kuat penuh harapan. Perang akan membuat semua itu berubah, kebun-kebun menjadi milik pasukan Muhammad, dan orang-orang menjadi budak-budak. Mata Sufyan menggambarkan jiwanya berteriak : “semua tidak boleh terjadi”

Sufyan bangkit dan menatap mata indah istrinya, wanita yang tengah mengandung janin menantu Umar, janin manusia yang aku menjaganya dengan seksama. Sufyan berkata : “aku akan turut dalam rombongan ke Yatsrib kota Cahaya, aku akan turut dalam sebuah keputusan besar bagi tanah Thaif”

Ferouzain – Prolog

Prolog

Tercipta dari pohon keberkahan, pohon berbuah cahaya, pohon cahaya. Batang dan dahannya tembus pandang, daunnya tembus pandang, tapi kau masih akan dapat mengenali semuanya.

Pohon keberkahan, batang pangkalnya adalah lingkaran raksasa, semakin keatas semakin menguncup, jika manusia membandingkan dengan ukuran tubuhnya, saat pohon mencapai tinggi selutut, batang pohon keberkahan akan bercabang-cabang, tapi ia bukan cabang yang berbelok, tidak berbelok ke timur, tidak pula berbelok ke barat. Menjulang lurus hingga ke puncaknya.

Pohon keberkahan, pohon yang dahan dan daunnya tembus pandang, sedang buahnya berkilauan. Kilau cahaya bak bintang, bak mutiara, berkerlap-kerlip. Kerlap-kerlip yang semakin indah. Dapatkah kau bayangkan, dalam satu renteng, berderet berkerumun ratusan buah berbentuk bulat lonjong yang memancarkan cahaya, cahaya beraneka warna. Jika kau memetiknya kau takkan berhenti menatap keindahannya.

Buah-buah cahaya, yang jika masanya tiba akan semakin berkilauan, dan saat tetes minyak seakan terjatuh, yang terjatuh itu adalah titik cahaya yang menguat, semakin menguat, semakin menguat, dan itu seperti diriku, dan seperti diriku, dan seperti diriku, dan juga aku.

Kami ada dari pohon cahaya, pohon keberkahan. Kami titik cahaya yang berpendar, pendarannya melukis sepasang sayap menawan, disusul pasangan lainnya dan lainnya dan lainnya, hingga aku memiliki 10 pasang sayap. Aku bersayap dua helai saja. Aku bersayap kelipatan tiga, dan aku bersayap kelipatan empat, sedang yang terkuat, Jibril, Sang Penyampai Pesan, bersayap hingga 600 helai.

Aku tidak sendiri, ada jutaan cahaya bersayap terlukis setiap harinya, dapatkah kau bayangkan indahnya alam yang berhias jutaan cahaya?Sayap cahaya berkilauan, cahaya terbang, kami terbang dibimbing oleh cahaya yang teramat kuat, menuju pintu agung, di muka pintu, cahaya bersayap menawan memberi isyarat agar mengikuti gerakannya, mengajarkan aneka suara, Allahu Akbar Allahu AkbarAllah Maha Besar???

Suatu tanya yang segera mendapat jawabnya, saat pintu terbuka, kami memasukinya …… ruangan suci yang kami tak dapat memasukinya lagi. Ruangan suci yang selalu aku rindukan, baitul ma’mur. Kami, kami dalam barisan 70.000 cahaya melakukan gerakan yang diajarkan cahaya bersayap menawan di muka pintu, gerakan yang dinamakan shalat, disertai pujian atas keagungan Dzat yang mencipta kami, Allah yang Maha Perkasa.

Gerakan-gerakan yang mencapai klimaks saat kau menekuk lututmu ke lantai dan wajahmu mencium tempat engkau biasa berpijak, ya ia klimaks saat bersujud, betapa indahnya sujud dalam ruang suci Baitul Ma’mur, tunduk pada Ia Sang Maha Pencipta. Dalam aura kesucian dan keagungan adakah air mata yang tak menetes?Aku tak dapat masuk kembali ke rumah suci, ke baitul ma’mur, kembali merasakan dahsyatnya bersujud dihadapan pemilik semesta, di rumahNya yang agung.

Saat kami keluar, terbang beberapa saat, kami melihat sungai membelah angkasa yang teramat luas, dimana hulunya dimana hilirnya tidaklah dalam jangkauan penglihatanku. Cahaya-cahaya bersayap keluar dari air itu, setiap tetes yang terjatuh dari satu malaikat utuh, menjelma menjadi malaikat lain yang lebih kecil, Setiap satu malaikat berukuran besar keluar, ratusan tetes-tetes air menjelma menjadi cahaya bersayap berkilauan.

Air dan minyak, owwh, dua materi penghasil cahaya, materi-materi apa yang ada didalamnya hingga aku dapat tercipta, aku ingin terbang mengitari kolam cahaya yang teramat indah, tetapi perintah menunjukkan arah terbang kami ke tempat lain yang lebih tinggi.

Ada tiga malaikat disana, pemimpin malaikat-malaikat utusan ke bumi, Jibril, Mikail dan malaikat maut. Mereka dengan khidmat menerima                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            perintah dari cahaya yang teramat kuat, cahaya dari 70 sumber gelombang elektromagnetik. Malaikat yang sangat kuat itu menjaga lauh mahfudz, tak ada satupun yang sanggup mendekatinya melewati batas yang ditetapkan. Dihari ia diciptakan sinar-sinar lain terbakar saat mendekati, Dia Israfil, penjaga rahasia kehancuran dunia.

Tetes-tetes cahaya menetesi kami, tetes yang mengandung perintah, Kami malaikat-malaikat yang mengiringi kehidupan manusia, aku dan satu cahaya bersayap lainnya, bersama akan menjaga manusia. Menelusup memasuki rahim seorang manusia, seorang wanita mulia, bersama ruh yang telah memilih pilihannya. Ruh itu dijaga malaikat peniup ruh, ia adalah cahaya bersayap lainnya yang turun bersama kami. Penjaga ruh akan meniupkan ruh dan kembali menuliskan apa yang telah dipilih ruh itu, menuliskan apa-apa yang menjadi ketetapanNya.

Ruh siapakah gerangan? siapa yang akan dijaga?, rasanya ingin melihat apa yang dijaga dengan seksama oleh malaikat peniup ruh, tapi tak bisa, tugas-tugas yang berbeda tak bisa saling mengetahui.

Kami melintasi angkasa, cahaya-cahaya bersayap memenuhi langit luas seakan tak bertepi, setiap turun dan turun, suasana langit berubah, hingga malaikat peniup ruh memberitahukan pada kami, inilah langit dunia. Langit yang dipenuhi sayap-sayap cahaya kecil, jika manusia mengukur dengan jarinya, besarnya tak lebih dari empat jemarinya. Malaikat-malaikat kecil itu berbaris memenuhi langit dunia, mereka sujud, ruku, berdiri, bertasbih memuji Pencipta Semesta, Allah yang penuh kasih. Inilah langit bumi, kami telah tiba dilangit bumi.