Ferouzain
Gen (1)
Wanita mulia itu tertidur lelap meski sekejap, lalu dua pertiga malam membangunkannya, seakan ia menatapku. Matanya seakan berkata padaku : engkaukah cahaya? Ia bangkit, melangkah dengan beratnya. Tentu saja ia melangkah berat, Dua ikatan syaithan masih melekat ditubuhnya.
Ia menuju peti kayu berukiran berlapis emas, membukanya dengan penuh rasa penasaran, dibukanya gulungan tulisan yang ia terima dari ibundanya, Ini wasiat kakekmu _Umar Bin Khatthab_ pada ayahmu “Nikahilah wanita ini, darinya akan lahir keturunanku yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana mereka memenuhi bumi dengan kedzaliman”
Ya, Umar Bin Khatthab menyuruh putranya untuk menikahi ibunda wanita itu.
Ia kembali menatapku, bisakah ia menatapku?
Ia lalu mengelus perutnya, dan bergumam Kehamilanku yang pertama tidaklah diringi cahaya demikian benderang, dalam hari-hari ini takdir janinku akan ditentukan, apakah ini malamnya? Malam penentuan takdir? Lalu apakah ini keturunan Amirul Mukminin yang akan memenuhi bumi dengan keadilan?
Ia ingin malam segera berlalu, ia dengan bersegera akan menjumpai Abdullah Bin Umar Bin Khatthab, pamannya yang sangat menyayanginya.
Ia menyimpan lembaran yang telah dibacanya diatas meja, lalu melangkahkan kaki mengambil air wudhu, dan setelah itu, langkahnya tak lagi terlihat berat, ia telah melepaskan ikatan syaithan yang kedua. Ia berjalan menuju mihrabnya dengan menatapku, seakan melihatku, tatapan yang kemudian berlalu dariku dan hanya terarah pada tempat ia akan bersujud.
Saat menyelesaikan dua raka’atnya, Ia kembali menatap ke tepi kanannya, lekat-lekat ia menatapku, seakan melihatku, lalu ia menatap lembaran yang tergeletak dimejanya. Ia bangkit dari sajadahnya dan duduk didepan mejanya.
Lembaran itu ditatapnya lekat-lekat, lembaran yang seakan bercahaya, ia begitu terpengaruh dengan apa yang tertulis dalam lembaran itu. Lebih terpengaruh dari sebelum-sebelumnya. Pengaruh yang begitu kuat hingga gelombang cahaya tampak menghiasi wajahnya. Ia kini yakin bahwa kehidupan baru yang ada dalam rahimnya adalah keajaiban yang dinanti-nanti.
Lembaran yang kini ditangannya tampak sangat istimewa, Ia menatap ke sekeliling kamarnya, cahaya berkilauan disetiap penjuru kamarnya, Ia menerima dengan sepenuh sukacita dan penasaran, bagaimana kehidupan baru akan menjalani takdirnya.
Matanya tampak membuka lorong waktu, mata yang menggambarkan segala keajaiban kehidupan baru yang dibawa kata-kata firasat sang Amirul Mukminin. Lorong waktu membawanya ke beberapa tahun yang tak disinggahinya, ia teringat pada kebetulan yang membawa ibundanya menjadi menantu Umar Bin Khatthab.
Ibu wanita itu adalah putri penjual susu, seorang gadis belia Bani Tsaqif. Dalam gulita, sepi senyap, hanya terdengar suara angin padang pasir pembawa udara dingin, Khalifah Umar berjalan berkeliling ke seantero kota. Kegiatan rutin yang tidak disadari oleh rakyatnya. Sayup-sayup Umar mendengar suara gadis cilik. Ia dengan santun mencegah ibunya mencampur susu dengan air. Umar mendekat ke pintu rumah, dan semakin jelas, gadis cilik itu bersungguh-sungguh meyakinkan ibunya agar tak mencampur susu dengan air. Sang Khalifah terpikat pada kejujuran, saat itu pula ia memutuskan akan melamar gadis itu untuk putranya ‘Ashim.
‘Ashim putra khalifah Umar, ayah dari wanita yang seolah-olah dapat melihatku, wanita itu mendapat kemuliaan, menjadi cucu lelaki yang ditakuti setan, bahkan ia menjadi keponakan kesayangan Abdullah putra Umar. Sebuah ingatan melekat, ingatan akan cerita bagaimana ibundanya menjadi pilihan Umar, cerita yang mengukir kesan mendalam akan khasiat mujarab kejujuran bagi kehidupan.
Saat ia kembali membaca lembaran firasat itu, seberkas rasa takut tergambar di wajahnya, sang Amirul Mukminin berkata pada ‘Ashim ayahnya : “Nikahilah wanita ini, darinya akan lahir keturunanku yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana mereka memenuhi bumi dengan kedzaliman”
Potongan terakhir firasat Umar “sebagaimana mereka memenuhi bumi dengan kedzaliman “ membawanya pada peristiwa 15 bulan lalu, peristiwa dimana bumi dipenuhi dengan kedzaliman, saat itu, sang pemimpin pemuda surga, Husein putra Ali Bin Abi Thalib dibunuh. Peristiwa dimana pertangung jawabannya melekat sangat erat pada klan Umayah, dimana janin wanita itu adalah bagian dari mereka. Wanita itu lalu berguman sambil mengelus janinnya : “Jika aku tak menikah dengan Abdul Aziz putra Marwan al Umawy, firasat khalifah Umar ini mungkin tak akan terjadi terlalu cepat, Janinku! sambutlah takdirmu dengan penuh kehati-hatian, kau dilahirkan dalam segerombolan kedzaliman”
Dalam cahaya yang memenuhi kamarnya, ia begitu ngeri pada lintasan-lintasan yang seolah ia lihat begitu nyata, mayat-mayat bergelimpangan di Karbala, kepala-kepala yang terpisah dari tubuhnya, darah-darah segar mengalir deras merubah warna tanah Karbala. Mulutnya, lututnya, seluruh tubuhnya lalu bergetar, Yazid!!! Apakah engkau manusia?
Kini lorong waktu membawanya kemasa depan, apa yang akan terjadi di Madinah, kota penuh cahaya? Gelombang penolakan terhadap gubernur yang diangkat Yazid sang khalifah dzalim semakin meluas. Pandangan kebencian diarahkan kepada setiap klan Umayah, termasuk kepada keluarganya. Meskipun untuk dirinya sendiri, orang-orang masih tersenyum dengan tulusnya, bagaimanapun ia cucu khalifah Umar, yang adil dan perkasa. Meski demikian matanya melahirkan pertanyaan : Apakah janinku akan lahir dengan selamat?
Ia bangkit dari meja dan menyandarkan keningnya pada kaca jendela, ditatapnya bintang-bintang yang berkerlap-kerlip diangkasa, ditatapnya jam pasir dekat dipannya, satu jam lalu saat cahaya di duapertiga malam membangunkan tidurnya, cahaya-cahaya yang diutus Pemilik Semesta membawa takdir janin yang dikandung rahimnya. Lalu ia kembali menatap langit, tersenyum dan bergumam : “akan kutunaikan tugas ini sebaik-baiknya”. Lalu ia menatapku penuh arti seolah-olah ia dapat melihatku dan berkata padaku : “Jagalah putraku sebaik-baiknya”
Tatapan itu menyedotku untuk memasuki rahimnya, dan akupun bersatu bersama cahaya-cahaya kebaikan yang dimiliki wanita mulia ini.
Rahim (1)
Mantu Khalifah Umar itu baru saja menjadi bakal manusia dalam rahim bundanya. Saat itu, saat kegelisahan meliputi klan Tsaqif di tanah Thaif. Janin yang tumbuh dalam aura ketakutan, tekanan sekaligus harapan.
Ayah janin itu, Sufyan putra Abdullah, tak dapat duduk dengan tenang, istrinya mengajaknya duduk, bersiap mendengarkan apa-apa yang menggelayuti pikiran suaminya tercinta.
Sufyan bercerita, disetiap hari matanya memandang hamparan kebun-kebun anggur, dan ia menatap wajah-wajah gundah, mengamati dengan seksama setiap aura wajah. Setiap saat Sufyan mendengarkan hembusan-hembusan kabar, dan ia menyimak nada-nada yang mengalun dari bibir-bibir saudara seklannya, nada penyesalan sekaligus gemuruh hasrat untuk memutuskan suatu keputusan besar.
Ia mengenang Urwah putra Mas’ud, sahabatnya dan anak emas klan Tsaqif, beginikah akhir kehidupan sang putra tercinta yang dibanggakan klan tsaqif? Urwah dibesarkan seluruh klan dengan kebanggaan, setiap detik kehidupannya adalah kemuliaan dan kenyamanan. Tiada seekor lalatpun yang berani mengganggu Urwah, seluruh klan Tsaqif akan membelanya. Dan apa yang terjadi kini adalah pertanda dunia telah berubah.
Hari itu langit Thaif mendung bukan pertanda hujan, tapi langit gelap oleh angkara durjana. Berbulan sejak Muhammad sang Nabi Quraisy mengepung Thaif _sebuah pengepungan yang gagal_, tiba-tiba saja Urwah mengumumkan keislamannya. Disaksikan banyak mata, hujan anak panah mengepungnya, darah mengalir deras dari dadanya dan Urwah pun tersungkur.
Thaif menyongsong perubahan, begitulah angin yang berhembus di Thaif. Sufyan meyakininya, hembusan angin yang terasa hingga ke Jantung, menembus kulit, daging dan tulang hingga ke jantung. Angin perubahan yang kemudian turut mengalir dalam darah orang-orang Thaif yang mulai berpikir. Sufyan berkeliling diluar benteng Thaif, ia berjalan menjauh dari benteng, lalu membalikkan badannya memandang kemegahan benteng, peristiwa pengepungan tergambar jelas dimatanya. Muhammad tak dapat mendekati benteng, selangkah saja melampaui radius panah panah api, bersiap saja menyambut hujan panah dan api. Beberapa anggota pasukan Muhammad terkena senjata tercanggih yang dipersiapkan mempertahankan Thaif dari berbagai serangan.
Sufyan menggenggam telapak lembut istrinya ia melanjutkan kisahnya. Ia kembali bergerak dan melewati tempat dimana anggota pasukan Muhammad yang gugur dikubur. Urwah, sahabatnya dimakamkan disana pula.
Ini adalah tahun ke sembilan sejak Muhammad terusir dari kampung halamannya di Mekkah. Sebelas tahun lalu, konon Muhammad minta perlindungan ke tanah Thaif, dan ia malah mendapat lemparan batu.
Setahun telah berlalu sejak Muhammad merebut otoritas Mekkah, ia yang dulu terusir kini menjadi penguasa Yatsrib dan Mekkah, bahkan bukan itu saja, seluruh Jazirah Arab telah tunduk dalam otoritasnya, Klan-klan arab telah bersumpah setia membuka setiap jengkal tanah Arab untuk seruan Islam. Terkecuali tanah Sufyan, tanah Thaif yang berbenteng kokoh, masih tegak dengan berhala-berhalanya.
Sufyan kembali ke benteng, bergegas menemui orang-orang penting tanah Thaif, ia harus berjuang keras mencegah kedatangan kembali Muhammad dan pasukannya untuk merebut Thaif. Ia meyakini jika seluruh Jazirah Arab telah bersumpah setia pada Muhammad, maka kejatuhan Thaif tinggal menunggu detik-detiknya.
Sufyan yang tengah duduk bersama cahaya hidupnya, membenamkan kepala dipangkuan wanita yang dicintainya. Mata Sufyan menggambarkan isi kepalanya, ia membayangkan perang dan kebun-kebun Thaif yang subur, perang dan wanita-wanita Thaif yang bak bidadari, perang dan anak-anak Thaif yang kuat penuh harapan. Perang akan membuat semua itu berubah, kebun-kebun menjadi milik pasukan Muhammad, dan orang-orang menjadi budak-budak. Mata Sufyan menggambarkan jiwanya berteriak : “semua tidak boleh terjadi”
Sufyan bangkit dan menatap mata indah istrinya, wanita yang tengah mengandung janin menantu Umar, janin manusia yang aku menjaganya dengan seksama. Sufyan berkata : “aku akan turut dalam rombongan ke Yatsrib kota Cahaya, aku akan turut dalam sebuah keputusan besar bagi tanah Thaif”