Terhempas Badai (1-Bukan Suatu Akhir) – lanjutan Pengikat Surga

Satu : Bukan Suatu Akhir

“Kumandang Adzan menyadarkan aku yang tengah tenggelam dalam tangis. Apakah ini bencana bagiku? Perceraian ini, apakah boleh aku memandangnya sebagai bencana?
Apakah pernikahan itu karunia? Apakah menjadi sendiri itu mengurangi kemuliaan?”

Hari ini, sebelum kumandang adzan,aku merenungkan perceraianku dan seluruh kehidupanku berubah.

Sejak kehadirannya dalam hidupku aku begitu terpengaruh oleh dirinya. Saat-saat berada disampingnya, lelaki yang malaikat bahagia berpenampilan sepertinya, aku merasakan duniaku terpisah dari masa laluku, terenggutkan dari dunia yang pernah aku jalani. Namun meskipun aku merasakan pikiranku tercerai berai, seluruh keberadaanku tetap terpusat pada dirinya, sehingga kehadirannya menjalarkan pengaruhnya tidak saja pada jiwaku tapi pada setiap aspek kepribadianku.

Pengaruhnya begitu kuat sehingga sinar malaikat yang ada pada dirinya memancar menerangi relung jiwaku. Pijarannya tidak hanya indah tetapi memberikan kegemerlapan pada intelektualitasku.
Didalam cahaya seperti inilah aku menata hidupku, menenggelamkan diri, dan merasakan sentuhan sosok malaikat dibumi. Aku duduk diatas sajadah, memutar seluruh kenangan yang dapat kuhadirkan, pikirannku nyaris tak menyadari bahwa aku telah bercerai. Ketika semua kenangan itu sampai pada titik terendah, aku menemukan kata “aku menceraikanmu”.

Seluruh hidupku tengah berubah tatkala aku mengingat kembali kata-kata itu.Aku merasa sungguh-sungguh tak siap menghadapi segala apa yang menimpaku ini, dan begitu tak berdaya sehingga sejenak kemudian, sehingga beberapa saat sejak kata-kata itu kudengar aku menarik diri menuruti naluriku yang melindungi diriku dari kilatan petir kesedihan.
Dengan penuh rasa takut aku mulai menyadari perubahan yang terjadi disekelilingku, kemudian aku dikuasai perasaan kesepian yang mungkin saja pernah kualami, berbulan aku terdampar disuatu ruangan yang tidak aku ketahui dimana pintu-pintunya

Khadijah, putri sulungku mengetuk pintu, membuyarkan pikiranku.
Putriku seorang gadis cantik yang sepi, Aku merasa bersalah karena terpusatnya diriku pada dunia ayahnya menjauhkanku dari dunianya.

“Akankah ibunda shalat di Masjid Rasul?” Putriku bertanya

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, menyeka air mata dan mencoba tersenyum.
Ia menggenggam tanganku dengan erat, putriku kini mencoba mengenalku.

Kami bergegas menuju Masjid Rasulullah, AL Mundzir telah menunggu didepan pintu rumah, dan kami berangkat bersama.

Seusai shalat subuh aku memikirkan dua surat yang tadi dibaca imam, Al Hadid dan al Fajr. Dari potongan al Hadid sesuatu yang sederhana menjadi pemikiranku, apa yang dilihat mata adalah satu sisi, kita tidak bisa melihat sisi dibaliknya. Dalam falsafah kemunafikan yang tampak muka adalah kasih sayang, sedangkan dibalik semua kemanisan ada kedengkian dan kekejaman. Sehingga Allah mengabarkan, kelak bagi orang beriman sisi kasih sayang, sedangkan bagi orang munafik sisi penuh derita. Demikianlah segala sesuatu selalu memiliki dua sisi.

Lalu persepsi kita terhadap sisi yang dapat kita pandang, adakalanya sebuah persepsi yang benar, dan ada kalanya persepsi yang salah, Al Fajr mengingatkanku, seseorang yang berlimpah harta akan berpersepsi Allah memberinya karunia, dan jika hartanya berkurang akan berpersepsi Allah membuatnya terhina. Memiliki cara persepsi seperti itu adalah sesuatu yang harus dihindari.

Lalu bagaimana berpersepsi? Bagaimana memberikan pendapat pada keadaan-keadaan?

Khadijah menggoyang-goyang bahuku, aku menghentikan sejenak apa yang aku pikirkan.

“Ibunda, akankah mendengar kajian selepas subuh, atau kita berjalan-jalan?”

Aku menatap Khadijah, ia pun menatapku. Pandangannya dalam menembus pikiranku, putriku mencoba membaca setiap sudut kepala dan hatiku.

“sepertinya kita akan menikmati pagi Madinah bersama” aku bangkit dan mengulurkan tanganku padanya agar ia pun bangkit.

Khadijah tak melepaskan genggaman tangannya, semakin erat ia menggenggam, dan ia membuka bincang

“Aku dapat membaca pikiran ibunda, pikiran ibunda tentang aku, aku adalah anak yang hilang, bagaimana jika kukatakan justru ibundalah ibunda yang hilang?”

Aku menghela nafas, sejenak berpikir dan bergumam dalam hati “jika aku hilang, kemanakah aku selama ini? Dan jika putriku yang hilang, kemanakah ia selama ini? Jika kami sama-sama merasa kehilangan, siapakah yang merebut kebersamaan dari kami?”

Khadijah menekan telapakku dengan keras : “apa yang ibunda pikirkan? Jawablah yang aku tanyakan!”

“Mungkin persepsi kita yang salah tentang keadaan satu sama lain, telah menyebabkan kita merasa kehilangan” mendengar jawabanku Khadijah melepaskan genggaman tangannya dan berhenti melangkah.

“bagaimana jika kukatakan, aku memang sungguh-sungguh menjauh darimu, masihkah engkau akan berkata, saat engkau merasa kehilangan aku, itu adalah persepsi yang salah?”

“kau tidak menjauh dariku, yang terjadi adalah kau mencoba mengenal dirimu sendiri dan juga mengenal aku” kata-kata ini meluncur begitu saja dariku

“lalu tentang perceraian ini, tentang berpisahnya ibunda dengan ayah?” Khadijah menyelidik

“ahhh” aku menghela nafas, lalu kukatakan lelaki-lelaki bani taim, klan dimana aku berasal adalah lelaki yang penuh kelembutan, bahkan kukatakan flamboyan. Dan karakter ayahmu adalah karakter keras, pukulan yang sering mendarat ditubuhku adalah sesuatu yang tidak dapat aku terima di awal-awal pernikahan. Aku sering mengeluh pada ayahku, Abu Bakr, bahwa aku ingin bercerai”

“Ibu!! Benarkah?”

“jadi, ini adalah tentang manusia, aku mengeluh pada kakekmu” aku menatap putriku

“Dan nenek Shafiyyah mengeluhkan tentangmu pada ayahku” Khadijah mengucapkan ini parau

“Sudahlah jangan lagi kau ingat semua itu” wajahku sungguh memohon putriku

“Bagaimana aku tidak mengingat peristiwa yang membuatku dicampakkan nenek Shafiyyah, aku memilihmu ibunda” Khadijah menekan kalimatnya

“Tak ada permusuhan antara aku dan ibu ayahmu, aku mencintainya”

“Tapi ia selalu mengeluhkan sikapmu, mengapakah itu semua?”

“Ini adalah tentang hubungan manusia, terkadang mencapai puncak keindahan, tetapi mungkin juga tersungkur ke titik terendahnya” nafasku panjang dan dalam

“Bagaimana kakek Abu Bakr berpendapat tentang ayah”, raut penasaran memenuhi wajah Khadijah

“ayahku mencintainya, sebagaimana Rasulullah mencintainya” aku menatap Khadjah dalam

“tapi ayahku tidak berba’iat pada kakek, kecuali setelah Fathimah, pemimpin kaum wanita di surga wafat, iya kan? Kenapa ayah bersikap demikian?” Khadijah menyelidik

“kenapa engkau berbicara kesana kemari, bukankah kita ingin berjalan bersama memperbaiki hubungan kita. Maafkan aku, engkau berpikiran demikian kacau karena kita benar-benar tak pernah memiliki waktu bersama, kepalamu sangat kusut, ribuan permasalahan bercampur menjadi satu, kemarilah putriku, biarkan aku memelukmu”

Khadijah tak menyandarkan dirinya di pelukku, ia melanjutkan kata-katanya

“iya, aku kacau, aku sangat kacau, tapi jawablah dulu pertanyaanku, apakah kakek peduli dengan keluhan ibu tentang ayah?”

Aku menghela nafas, lalu aku menjawab Khadijah

“Hari berganti, dan Al Qur’an mendidik ayahmu, Rasulullah mencontohkan bagaimana bersikap pada keluarga, lalu sikap keras ayahmu semakin hari semakin hilang. Tapi dalam selang waktu itu, aku seringkali masih mengadu pada kakekmu, bahwa aku ingin bercerai”

“apa yang kemudian kakek lakukan”

“kakekmu bertanya berulang pada Rasulullah, dan kemudian satu kata yang kakekmu sampaikan padaku : “bersabarlah, istri lelaki shalih, dimana suaminya meninggal dan tidak menikah lagi, maka akan dikumpulkan di surga bersamanya”, ayahmu, penghuni surga, kakekmu ingin aku menghuni surga pula”

“apakah masih ada kesempatan bagi ibu menghuni surga? ibunda bukan istri ayahku lagi, ibunda bukan istri penghuni surga”

Aku menengadah ke langit, aku bertanya pada diriku sendiri : “Bisakah wanita meniti jalan kesurga tanpa menjadi pasangan seseorang?” Khadijah kini menggoyang bahuku, aku pun menjawabnya

“Allah tak pernah mengingkari janjiNya wahai putriku, aku beriman padaNya dan selalu berusaha mengerjakan amalan terbaik, sungguh Allah tidak mengingkari janjiNya”

“ya tentu saja surga bukan milik ayahku” Khadijah memainkan mimik wajahnya, lalu Kami tertawa terbahak bersama.

Kamipun melanjutkan perjalanan, dan menjalin ikatan seorang ibu dan putrinya yang tak pernah terjalin diantara kami. Bunda Shafiyyah, mertuaku mengasuhnya sejak bayi. Masa-masa kecilnya adalah masa dimana aku sangat tertarik dengan dunia luar, keinginan bunda Shafiyyah mengasuhnya tidaklah kukira sebagai sesuatu yang menyebabkan aku merasa Khadijah, putriku kehilangan.

“Khadijah! Apakah aku benar-benar ibu yang hilang?”

“ibu ingin mendengar kejujuranku?”

“tentu saja” aku meyakinkannya

“ibu tak pernah ada, dalam tangisku, bahkan dalam tangis bayi sekalipun, begitu yang terjadi pada kami kan? Terlebih aku dan al Mundzir. Berjihad lebih menarik bagi ibu, daripada merawat kami, aku mendengar ceritanya, ibu pergi ke Yarmuk begitu saat menanti kelahiran al Mundzir, bagaimana bisa? Tidakkah engkau mengkhawatirkan keselamatan bayi yang dalam rahimmu?” aku terkekeh mendengarnya lalu menjawabnya :

“Putra-putraku terlahir dalam perjuangan, aku mendaki bukit Tsur dalam kehamilan pertamaku, maka tidaklah sulit bagiku pergi ke medan Yarmuk dan aku dalam keadaan hamil. Yarmuk Madinah bukanlah perjalanan berbulan, aku pun dapat melahirkan dengan selamat di kota ini, kota penuh cahaya, dan apakah nenek Shafiyyah yang harus pergi berjihad?” Khadijah antara terkagum dan merenggut mendengar jawabku, ia lalu berkata

“Bagaimanalah engkau mengaturnya, tapi aku sungguh memerlukan ibuku, ibu yang berada disampingku dalam risauku, nenek Shafiyyah sama persis seperti ayah, tidak mengerti hati, aku wanita ibu!!”

“medan pertempuran mungkin telah berakhir bagiku, aku pasti akan selalu bersamamu, kita akan bersama-sama mempelajari banyak hal”

“benarkah?” Khadijah sangat girang

“Khadijah! Camkanlah, kita wanita muslim, adalah wanita mandiri yang saling bekerja sama, ada peran-peran yang bisa saling mengisi dan menggantikan, meski kau tak meminum air susuku, tapi wanita hebat lain memberikannya untukmu, Hasan cucu pertama Rasulullah bukanlah Fathimah yang menyusuinya, tapi Ummu Fadhl. Hasan terpisah jarak Mekkah Medinah untuk mendapat air susu terbaik dari wanita yang melahirkan seorang ahli agama. Dan kau pun tetap anak manusia, bukan anak kambing”

“ibuuuu! Aku kira ibu akan menasihatiku sesuatu yang sangat serius, ibuuuu” Khadijah memukuliku dan kami kembali tertawa bersama

Perjalanan tanpa terasa telah membawa kami kembali ke area mesjid Rasulullah. Kami melintas dipekarangan Aisyah, ia tengah bersama Ummi Kultsum, adik kami, mereka melambaikan tangan, Khadijah tak terlalu menyambut lambaian itu, ia sangat cemburu pada Ummi Kultsum, baginya seluruh perhatian bibinya terpusat pada Ummi Kultsum.

Aku menarik Khadijah untuk mendekati Aisyah, lalu aku bertanya pada Aisyah

“pelajaran apakah yang kau punya hari ini?”

“aku akan membacakan ayat ini : “hari itu bumi diganti dengan bumi yang lain dan lapisan langit yang lain pula , manusia-manusia menampakkan diri pada Allah yang Esa dan Maha Perkasa”

Aku lalu menyela perkataan Aisyah

“perasaan diganti dengan perasaan yang lain dan kebahagiaan yang lain pula, jika demikian segala sesuatu yang masih berganti maka itu bukan suatu akhir, sungguh bukan suatu akhir. Bukankah begitu?”

“apa berganti apa?” Aisyah balik bertanya padaku

“Kemarin aku merasa kehilangan, hari ini aku mendapatkan, maka perceraian yang menimpaku bukan suatu akhir” aku berkata dengan menelan ludah pahit

“Seperti penaklukan lautan, Umar melarangnya dan Utsman telah mengeluarkan izinnya” Aisyah berkata antara bahagia dan cemas

“Akhirnya kita memiliki armada laut, dan kau seakan memendam kerisauan, mengapakah?”

“Jika ilmu belum mendapatkan pewarisnya, maka hilanglah ia dengan wafatnya para cendekia” Aisyah menghela nafas panjang

“Abu Darda, pastilah ia yang engkau risaukan, tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan jihad yang ada dihadapan, menjadi pasukan laut pertama” aku seakan menginginkan berada dalam kapal-kapal digjaya itu

“Sesungguhnya aku tak merisaukan kematiannya, tetapi aku risau tiada yang mendengar apa yang ia sampaikan saat ketetapan Allah terjadi, apakah itu suatu kemenangan dari sisi Allah, atau tertahannya penaklukan”

“Entahlah Aisyah, tapi kukira Abu Darda akan kembali dari medan jihad ke Damaskus, kematiannya atas idzin Allah ada pada garis takdir kaum pemuka Khazraj, Para penjaga al Qur’an”

“Dan tentang yang kau katakan bukan suatu akhir, kau kehilangan, dan apa yang engkau dapatkan?” Tiba-tiba saja Aisyah bertaya

“aku mendapatkan kedekatan dan cinta dari putriku, Khadijah”

“kukira perceraian bukan akhir cintamu dengan az Zubayr, kukira bukan suatu akhir” Aisyah meledekku