Imam Nawawy

Bismillahirrahmaanirrahim

Pagi tadi nonton Indahnya Islam

edisi nya tentang “pernikahan”
Bahasan asyik, yang lumayan berbobot disajikan oleh ustadz Maulana,

sedikit terganggu dengan ustadzah tamu “Oki Setiani Dewi” dengan beberapa statementnya
diantaranya pengutipan “semisal Imam Nawawi tidak menikah karena sibuk menuntut ilmu”
saya tahu, kutipan itu pasti ada sumbernya.

Tapi itu adalah kutipan singkat yang bisa membuat orang berpersepsi bahwa ada kontradiktif antara kehidupan “pernikahan” dan “menuntut ilmu”

Imam Nawawi, kalau kita menelisik bukunya, baik bahasan fiqh, bahasan hadits, dan lainnya, tentu akan kita dapati pemahaman mendalam akan “urgensi” pernikahan, arti dan makna penting pernikahan bagi kehidupan.

Imam As Sakhawiy punya satu tulisan biografi khusus Imam Nawawy (kitab : Al Minhal Al ‘Adzbu Ar Rawiy fi Tarjamati Quthb Auliya an Nawawy) menulis satu paragraf bahwa “imam Nawawy tidak menikah karena kesibukannya untuk ilmu dan berkarya”
Tetapi Imam As Sakhowy tidak menjadikan paragraf tersebut sebagai paragraf tunggal. Paragraf tersebut ada sesudah menceritakan kisah hidupnya sejak kecil, dimana

1. masa kecil Imam An Nawawy adalah masa “terasing”, ia sepi di keramaian. Semenjak kecil tak ada seorang pun yang senang bermain dengannya, jika beliau nimbrung bermain maka anak-anak akan segera menghindar tunggang langgang.
2. Saat di usia 7 tahun, di malam 27 bulan Ramadhan , beliau melihat rumahnya berkilauan cahaya, langit penuh cahaya. Sesuatu yang tidak bisa dilihat ayah dan ibunya. Ayahnya berkeyakinan bahwa itu adalah malam lailatul qadar

Dua peristiwa yang sangat berpengaruh pada pembentukan karakter, Imam an Nawawy terasing dari rekan sebaya, tentu ada sebabnya. Jika nabi Yahya tidak bermain dimasa kecil karena memang tidak menyenangi bermain, maka kisah menyebutkan ada keinginan bermain yang dimiliki Imam Nawawi tetapi “anak-anak zamannya” menjauhinya, dan membuatnya menangis.
Dalam tulisan geografi ala arab, sering kita temukan ciri-ciri wajah. Dalam kisah Imam an Nawawy tidak terdapat ciri-ciri fisik.

Plus ditambah anugerah “penglihatan” yang lebih kuat, cahaya malam lailatul qadar telah masuk dalam dirinya, sehingga kuat melakukan hal-hal serius dalam jangka waktu lama, semisal belajar nonstop berbulan-bulan.
Kekuatan yang menjadikannya semakin terpencil dari pergaulan rekan-rekan sebaya.

Hingga seorang ulama bernama Yasin menyadari kekuatan yang dimiliki Imam Nawawy dalam hal-hal serius , dan memotivasinya untuk terus belajar dan belajar.

Pada usia 19 tahun pindah dari nawa ke pusat Damaskus.Tinggal di tanah dekat madrasah Ar Ruhiyyah di Damaskus, di sebuah rumah yang sangat sederhana.

Tahun 651, atau pada saat berusia 20 tahun, Imam Nawawy pergi haji bersama ayahnya, dan sakit sepanjang perjalanan hajinya.

Setelah itu Imam Nawawy berguru pada banyak ulama, membaca aneka buku, menamatkannya, membenarkan bacaannya, diuji pemahaman-pemahamannya.

Semua apa yang dipelajari membuatnya meninggalkan banyak hal
1. Imam Nawawiy tidak makan kecuali apa yang disediakan orang tuanya
2. Makan 1 kali sesudah shalat isya
3. Minum 1 kali diwaktu sahur
4. Sama sekali tidak memakan buah-buahan dari tanah Syam, dengan alasan bahwa mayoritas tanah di Syam bersifat waqaf, pengelolaan yang tidak sesuai syariah islam menyebabkan hasil-hasil buminya tidak terjamin kehalalannya

Imam An Nawawy meniti penghidupan yang sulit, dan sangat berhati-hati dalam memasukkan makanan ke tubuhnya,
pun mengenakan pakaian ditubuhnya, dengan kain yang sangat sederhana, kasar.
bahkan tidak masuk ke kamar mandi umum, yang dimasa itu “al hammam” atau kamar mandi umum adalah semisal spa zaman kini, tempat bersolek diri agar bersih, ganteng, sedap dipandang dan bertukar banyak informasi.

Atas cara hidup yang demikian, para ahli biografi, semisal Imam Adz Dzahabiy menyatakan bahwa “Imam An Nawawy meninggalkan semua kelezatan kehidupan dunia”

Dari semua paparan itu, statement “tidak menikah karena mengutamakan ilmu”, jika tidak melihat komprehensif cerita, sangat terasa mengkontradiktifkan antara menikah dan mencari ilmu serta menyebarkannya.

Kondisi tidak menikahnya Imam An Nawawy, berdasar kesimpulan saya adalah KOMPLEKSITAS dari keadaan pribadi dan kondisi sosial budaya masyarakat zamannya.

“Yang saya bayangkan kita tidak “mudah melakukan simplifikasi”, membaca sesuatu kesimpulannya saja, melupakan “jalan cerita”, yang pada gilirannya bisa membuat kita salah membuat langkah.

Wallahu ‘Alam Bish Showab

Leave a comment