Merindukanmu wahai Utusan Rabb semesta

Ini adalah kisah yang dibaca hari ini yang membuat air mata bercucuran deras

karena kerinduan pada Rasulullah
karena semua permasalahan hidup ini rasanya hilang menguap
dengan hadirnya kasih sayang teramat sangat dari kekasih Allah pilihan

tentang Rasulullah dan Abu Dzar

Dari Asma Binti Yazid : bahwasanya Abu Dzar al Ghifary adalah pelayan Rasulullah, jika telah selesai dari pekerjaannya, maka ia pulang ke Mesjid dan tidur di mesjid dengan tanpa berbaring sempurna.

Rasulullah lalu masuk ke mesjid dan mendapatinya kedinginan. Rasulullah lalu membuatnya duduk, dan adu dzar terbangun.

Rasulullah berkata : wahai ABu Dzar aku tidak pernah melihatmu tidur

ABu Dzar menjawab : wahai Rasulullah dan dimanakah aku tidur? apakah aku punya rumah selain mesjid?

Rasulullah kemudian duduk sangat dekat dengannya seraya berkata “Bagaimana engkau jika mereka mengusirmu dari mesjid?”

Abu Dzar menjawab : “maka aku akan pergi ke Syam, sesungguhnya Syam adalah negeri hijrah, dan ia adalah padang mahsyar, dan ia adalah negeri para nabi, maka aku akan menjadi salah satu penduduknya”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “bagaimana engkau jika mereka mengusirmu darinya?”

Abu Dzar menjawab : aku akan kembali ke syam, ia adalah rumahku dan tempat tinggalku

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : bagaimana engkau jika mereka mengusirmu lagi?

Abu Dzar menjawab : maka aku akan menghunus pedangku mempertahankan diri hingga mati

Rasulullah mempertegas posisi duduk dan memegang abu dzar : “maukah engkau aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik?”

Abu Dzar menjawab : tentu saja, demi ayah dan ibuku wahai nabi Allah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : engkau menta’ati mereka sesuai perintah mereka dan berjalan sesuai mereka arahkan hingga engkau menemuiku dalam keadaan patuh dan ta’at

Musnad Imam AHmad 27588

Kisah mereka yang Murtad di zaman Rasulullah (1)

ini kisah yang paling menyadarkan saya, tentang pentingnya “mengenal” dan memahami kedudukan setiap manusia.

Manusia sebagai makhluq Allah, apapun agamanya
lalu memahami hak setiap muslim
memahami hak-hak setiap mukmin
mencoba mengenal kedudukan setiap mukmin dihadapan Allah

kisah ini, benar-benar membuka mata
kisah yang membuat memahami betapa suatu kondisi adalah kompleksitas
kisah yang mengajarkan bahwa kita harus mempelajari bagaimana merespon suatu peristiwa
kisah yang membuka mata bahwa setiap pribadi memiliki posisi dan kedudukan dimata Allah
menyadarkan kesejatian bahwa semua urusan kelak dikembalikan kepada Allah
adapun di dunia, maka semua berjalanlah sesuai dengan batasan yang telah Allah tetapkan

Utsman bin Affan punya saudara susuan yang bernama Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin
Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin, ia telah masuk islam sewaktu di Mekkah,
bahkan memiliki tugas mulia : mencatatkan wahyu.
Ternyata Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin “mempermainkan keislamannya”
ia mencatat wahyu sekehendak hatinya, Jika Rasulullah menyampaikan bahwa ayat tersebut ‘aziizun hakiim
Abdullah suka menulis ‘aliimun hakiim
lalu murtad, dan berkata kepada orang-orang kafir bahwa “agama jahiliyyah” lebih baik daripada islam.

saat futuh Mekkah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin lari, takut dibunuh dan kemudian meminta jaminan keamanan kepada Utsman.
Utsman lalu menyembunyikannya hingga keadaan tenang.
setelah kondisi tenang, Utsman membawa Abdullah kepada Rasulullah SAW.
Saat datang Rasulullah terdiam tidak menjawab dalam jangka waktu yang sangat lama.
keadaan menegang ….. tetapi kemudian tegangan menurun dan Rasulullah mengeluarkan jaminan keamanan bagi Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin.
Utsman dan Abdullah kemudian pamit.
Setelah keduanya pergi, Rasulullah kemudian berkata : “aku terdiam sangat lama, karena berharap salah satu dari kalian berdiri membunuh Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarhin”
Seseorang diantara mereka berkata : “kenapa engkau tidak memberi tanda kepada kami”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Adalah haram bagi seorang nabi untuk membunuh dengan cara memberi tanda, Seorang nabi diharamkan berkhianat didepan mata”

(AL Kamil Fi at Taarikh, Ibnu Al Atsier, jilid 2 hal 123… cetakan Daar el kutub el arabi)

Peristiwa ini bisa ditafsirkan macam-macam,
bisa dangkal, bisa menyimpang

adalah tugas kita menyuarakan kejernihan.
memahami teks dan konteks
memahami dengan integral

dari kisah ini, banyak yang dapat saya ambil
1. Pentingnya memahami prosedur dan adab-adab yang Allah tetapkan dalam segala sesuatu, dan lalu menerapkannya setiap keadaan yang sesuai terjadi
2. menjaga batas-batas kewenangan, memahami peran dan posisi

ahhh, malam ini titik kritis itu kembali ditemukan

Abdullah bin Sa’d Abi Sarhin menjadi kunci ditaklukannya Afrika, menjadi kunci penyebaran islam di Afrika
sungguh semakin ingin melihat apa yang akan terjadi di esok hari
saat semakin takjub dengan keadilan dan kebijaksanaan di pengadilan Allah

kisah unik ini, semakin membuat mau membaca kompleksitas kehidupan
mengenal manusia dan prahara-prahara yang menimpanya

Allahumma Shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad
dan
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada seluruh kaum beriman

takwil matahari rembulan (Ali – Muawiyah)

membaca setiap kisah-kisah

semoga setiap kisah yang semakin membuka jalan atas pemahaman utuh yang kokoh akan kebenaran
suatu jalam lurus yang Allah terangi dengan cahaya=cahayanya

Adalah Umar bin a Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, yang keduanya Allah telah ridhai
hubungan unik yang penuh dengan cinta kasih
saling mengagumi dan menghormati

hingga saat seorang uskup, mengatakan era Ali adalah era pertumpahan darah, Umar naik pitam

hingga saat Umar melamar Ummu Kultsum binti Ali, putri Ali dari Fathimah
Ali menerima dan berbahagia berbesan dengan seorang al Faruq

hingga saat kisah-kisah kejadian dimasa setelah Umar semakin jelas tergambar dihadapan
akan fitnah dan musibah besar yang gerjadi pada ummat islam selepas mangkatnya Umar
maka Umar senantiasa waspada

Dari sisi kepemimpinan paska Umar
Ali memang bukanlah pilihan utama bagi Umar
teks-teks menunjukkan bahwa Umar sangat menginginkan Abu Ubaidah bin al Jarrah atau Salim maula Abi Hudzaifah yang menggantikannya menjadi khalifah
takdir telah tertulis , bahwa keduanya wafat sebelum Umar

ketika tikaman menghantarkan Umar pada sakaratul maut
ketika informasi dikumpulkan
tiada dapat Umar menentukan siapa pemimpin sesudahnya
yang dapat Umar lakukan adalah memilih 6 orang agar duduk memutuskan menetapkan khalifah paska Umar

Ah meski demikian, meski Ali bukan pilihan utama dalam kepemimpinan
Umar sangat mencintainya dan memahami dengan seksama apa yang akan terjadi
ketika rakyat tidak sanggup menta’ati seorang pemimpin seperti Ali
ketika rakyat tidak sanggup ridha, bahagia dan melaksanakan kebijakan-kebijakan Ali
dan Umar melakukan pembelaan pada batas-batas apa yang mampu dilakukannya

Dalam mushannif Ibnu Abi Syaibah, no 37864
Dikisahkan seorang hakim diantara hakim-hakim tanah Syam, mendatangi Umar, mengisahkan bahwa ia bermimpi yang meresahkannya, ia berkata dalam mimpinya matahari dan bintang saling berbunuh-bunuhan, dan bintang-bintang ada pada kedua pihak sebelah-sebelah.

Umar segera memahami arah kisah yang diceritakan sang hakim
lalu Umar bertanya : “kamu ada dipihak mana?”

hakim menjawab : “aku ada dipihak bulan melawan matahari”

Umar lalu menjawab dengan sebuah takwil berdasar ayat : “Kami menjadikan malam dan siang sebagai dua kedigjayaan, lalu kami menghapus kedigjayaan malam, dan menjadikan kedigjayaan siang sebagai penerang” (al Isra : 12)

dari takwil ini, terlihat bahwa Umar mentakwilkan matahari adalah Ali, dan bulan adalah Muawiyah

lalu Umar berkata pada sang hakim : “pergilah, jangan pernah bekerja untukku lagi selama-lamanya”

dan sang hakim itu terbunuh di perang Shiffin, berada pada pihak Muawiyah….

Umar membuang sang Hakim,
tetapi tetap memakai Muawiyah, sebagai salah satu gubernur yang menguatkan pemerintahannya,
bagaimana tidak,
Muawiyah adalah suatu tanda kedigjayaan yang telah Allah tetapkan, ia adalah rembulan

dan jauh sebelum itu
Rasulullah, pernah melihat dalam mimpinya di malam lailatul qadar,
bahwa klan Abu Sufyan secara turun-temurun bergantian naik-turun dari mimbar Rasulullah
mimpi yang Rasulullah tidak suka

tetapi itu adalah suatu ketetapan Allah
maka, respon Rasulullah atas semua itu , adalah mendidik Muawiyah dengan seksama, dalam sisa waktu kehidupannya yang tiada lama lagi, Muawiyah dijadikan salah satu penulis wahyu…..
menorehkan al Qur’an dan kepahaman pada rembulan

Adapun imam Ali, yang Allah muliakan wajahnya,
ia adalah matahari menyengat, teguh dalam garis kebenaran
orang-orang kepanasan dengan sinar matahari

sungguh orang-orang lebih senang berdiri dibawah rembulan sempurna bulat
daripada dibawah terik matahari yang membakar

Terhempas Badai (1-Bukan Suatu Akhir) – lanjutan Pengikat Surga

Satu : Bukan Suatu Akhir

“Kumandang Adzan menyadarkan aku yang tengah tenggelam dalam tangis. Apakah ini bencana bagiku? Perceraian ini, apakah boleh aku memandangnya sebagai bencana?
Apakah pernikahan itu karunia? Apakah menjadi sendiri itu mengurangi kemuliaan?”

Hari ini, sebelum kumandang adzan,aku merenungkan perceraianku dan seluruh kehidupanku berubah.

Sejak kehadirannya dalam hidupku aku begitu terpengaruh oleh dirinya. Saat-saat berada disampingnya, lelaki yang malaikat bahagia berpenampilan sepertinya, aku merasakan duniaku terpisah dari masa laluku, terenggutkan dari dunia yang pernah aku jalani. Namun meskipun aku merasakan pikiranku tercerai berai, seluruh keberadaanku tetap terpusat pada dirinya, sehingga kehadirannya menjalarkan pengaruhnya tidak saja pada jiwaku tapi pada setiap aspek kepribadianku.

Pengaruhnya begitu kuat sehingga sinar malaikat yang ada pada dirinya memancar menerangi relung jiwaku. Pijarannya tidak hanya indah tetapi memberikan kegemerlapan pada intelektualitasku.
Didalam cahaya seperti inilah aku menata hidupku, menenggelamkan diri, dan merasakan sentuhan sosok malaikat dibumi. Aku duduk diatas sajadah, memutar seluruh kenangan yang dapat kuhadirkan, pikirannku nyaris tak menyadari bahwa aku telah bercerai. Ketika semua kenangan itu sampai pada titik terendah, aku menemukan kata “aku menceraikanmu”.

Seluruh hidupku tengah berubah tatkala aku mengingat kembali kata-kata itu.Aku merasa sungguh-sungguh tak siap menghadapi segala apa yang menimpaku ini, dan begitu tak berdaya sehingga sejenak kemudian, sehingga beberapa saat sejak kata-kata itu kudengar aku menarik diri menuruti naluriku yang melindungi diriku dari kilatan petir kesedihan.
Dengan penuh rasa takut aku mulai menyadari perubahan yang terjadi disekelilingku, kemudian aku dikuasai perasaan kesepian yang mungkin saja pernah kualami, berbulan aku terdampar disuatu ruangan yang tidak aku ketahui dimana pintu-pintunya

Khadijah, putri sulungku mengetuk pintu, membuyarkan pikiranku.
Putriku seorang gadis cantik yang sepi, Aku merasa bersalah karena terpusatnya diriku pada dunia ayahnya menjauhkanku dari dunianya.

“Akankah ibunda shalat di Masjid Rasul?” Putriku bertanya

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, menyeka air mata dan mencoba tersenyum.
Ia menggenggam tanganku dengan erat, putriku kini mencoba mengenalku.

Kami bergegas menuju Masjid Rasulullah, AL Mundzir telah menunggu didepan pintu rumah, dan kami berangkat bersama.

Seusai shalat subuh aku memikirkan dua surat yang tadi dibaca imam, Al Hadid dan al Fajr. Dari potongan al Hadid sesuatu yang sederhana menjadi pemikiranku, apa yang dilihat mata adalah satu sisi, kita tidak bisa melihat sisi dibaliknya. Dalam falsafah kemunafikan yang tampak muka adalah kasih sayang, sedangkan dibalik semua kemanisan ada kedengkian dan kekejaman. Sehingga Allah mengabarkan, kelak bagi orang beriman sisi kasih sayang, sedangkan bagi orang munafik sisi penuh derita. Demikianlah segala sesuatu selalu memiliki dua sisi.

Lalu persepsi kita terhadap sisi yang dapat kita pandang, adakalanya sebuah persepsi yang benar, dan ada kalanya persepsi yang salah, Al Fajr mengingatkanku, seseorang yang berlimpah harta akan berpersepsi Allah memberinya karunia, dan jika hartanya berkurang akan berpersepsi Allah membuatnya terhina. Memiliki cara persepsi seperti itu adalah sesuatu yang harus dihindari.

Lalu bagaimana berpersepsi? Bagaimana memberikan pendapat pada keadaan-keadaan?

Khadijah menggoyang-goyang bahuku, aku menghentikan sejenak apa yang aku pikirkan.

“Ibunda, akankah mendengar kajian selepas subuh, atau kita berjalan-jalan?”

Aku menatap Khadijah, ia pun menatapku. Pandangannya dalam menembus pikiranku, putriku mencoba membaca setiap sudut kepala dan hatiku.

“sepertinya kita akan menikmati pagi Madinah bersama” aku bangkit dan mengulurkan tanganku padanya agar ia pun bangkit.

Khadijah tak melepaskan genggaman tangannya, semakin erat ia menggenggam, dan ia membuka bincang

“Aku dapat membaca pikiran ibunda, pikiran ibunda tentang aku, aku adalah anak yang hilang, bagaimana jika kukatakan justru ibundalah ibunda yang hilang?”

Aku menghela nafas, sejenak berpikir dan bergumam dalam hati “jika aku hilang, kemanakah aku selama ini? Dan jika putriku yang hilang, kemanakah ia selama ini? Jika kami sama-sama merasa kehilangan, siapakah yang merebut kebersamaan dari kami?”

Khadijah menekan telapakku dengan keras : “apa yang ibunda pikirkan? Jawablah yang aku tanyakan!”

“Mungkin persepsi kita yang salah tentang keadaan satu sama lain, telah menyebabkan kita merasa kehilangan” mendengar jawabanku Khadijah melepaskan genggaman tangannya dan berhenti melangkah.

“bagaimana jika kukatakan, aku memang sungguh-sungguh menjauh darimu, masihkah engkau akan berkata, saat engkau merasa kehilangan aku, itu adalah persepsi yang salah?”

“kau tidak menjauh dariku, yang terjadi adalah kau mencoba mengenal dirimu sendiri dan juga mengenal aku” kata-kata ini meluncur begitu saja dariku

“lalu tentang perceraian ini, tentang berpisahnya ibunda dengan ayah?” Khadijah menyelidik

“ahhh” aku menghela nafas, lalu kukatakan lelaki-lelaki bani taim, klan dimana aku berasal adalah lelaki yang penuh kelembutan, bahkan kukatakan flamboyan. Dan karakter ayahmu adalah karakter keras, pukulan yang sering mendarat ditubuhku adalah sesuatu yang tidak dapat aku terima di awal-awal pernikahan. Aku sering mengeluh pada ayahku, Abu Bakr, bahwa aku ingin bercerai”

“Ibu!! Benarkah?”

“jadi, ini adalah tentang manusia, aku mengeluh pada kakekmu” aku menatap putriku

“Dan nenek Shafiyyah mengeluhkan tentangmu pada ayahku” Khadijah mengucapkan ini parau

“Sudahlah jangan lagi kau ingat semua itu” wajahku sungguh memohon putriku

“Bagaimana aku tidak mengingat peristiwa yang membuatku dicampakkan nenek Shafiyyah, aku memilihmu ibunda” Khadijah menekan kalimatnya

“Tak ada permusuhan antara aku dan ibu ayahmu, aku mencintainya”

“Tapi ia selalu mengeluhkan sikapmu, mengapakah itu semua?”

“Ini adalah tentang hubungan manusia, terkadang mencapai puncak keindahan, tetapi mungkin juga tersungkur ke titik terendahnya” nafasku panjang dan dalam

“Bagaimana kakek Abu Bakr berpendapat tentang ayah”, raut penasaran memenuhi wajah Khadijah

“ayahku mencintainya, sebagaimana Rasulullah mencintainya” aku menatap Khadjah dalam

“tapi ayahku tidak berba’iat pada kakek, kecuali setelah Fathimah, pemimpin kaum wanita di surga wafat, iya kan? Kenapa ayah bersikap demikian?” Khadijah menyelidik

“kenapa engkau berbicara kesana kemari, bukankah kita ingin berjalan bersama memperbaiki hubungan kita. Maafkan aku, engkau berpikiran demikian kacau karena kita benar-benar tak pernah memiliki waktu bersama, kepalamu sangat kusut, ribuan permasalahan bercampur menjadi satu, kemarilah putriku, biarkan aku memelukmu”

Khadijah tak menyandarkan dirinya di pelukku, ia melanjutkan kata-katanya

“iya, aku kacau, aku sangat kacau, tapi jawablah dulu pertanyaanku, apakah kakek peduli dengan keluhan ibu tentang ayah?”

Aku menghela nafas, lalu aku menjawab Khadijah

“Hari berganti, dan Al Qur’an mendidik ayahmu, Rasulullah mencontohkan bagaimana bersikap pada keluarga, lalu sikap keras ayahmu semakin hari semakin hilang. Tapi dalam selang waktu itu, aku seringkali masih mengadu pada kakekmu, bahwa aku ingin bercerai”

“apa yang kemudian kakek lakukan”

“kakekmu bertanya berulang pada Rasulullah, dan kemudian satu kata yang kakekmu sampaikan padaku : “bersabarlah, istri lelaki shalih, dimana suaminya meninggal dan tidak menikah lagi, maka akan dikumpulkan di surga bersamanya”, ayahmu, penghuni surga, kakekmu ingin aku menghuni surga pula”

“apakah masih ada kesempatan bagi ibu menghuni surga? ibunda bukan istri ayahku lagi, ibunda bukan istri penghuni surga”

Aku menengadah ke langit, aku bertanya pada diriku sendiri : “Bisakah wanita meniti jalan kesurga tanpa menjadi pasangan seseorang?” Khadijah kini menggoyang bahuku, aku pun menjawabnya

“Allah tak pernah mengingkari janjiNya wahai putriku, aku beriman padaNya dan selalu berusaha mengerjakan amalan terbaik, sungguh Allah tidak mengingkari janjiNya”

“ya tentu saja surga bukan milik ayahku” Khadijah memainkan mimik wajahnya, lalu Kami tertawa terbahak bersama.

Kamipun melanjutkan perjalanan, dan menjalin ikatan seorang ibu dan putrinya yang tak pernah terjalin diantara kami. Bunda Shafiyyah, mertuaku mengasuhnya sejak bayi. Masa-masa kecilnya adalah masa dimana aku sangat tertarik dengan dunia luar, keinginan bunda Shafiyyah mengasuhnya tidaklah kukira sebagai sesuatu yang menyebabkan aku merasa Khadijah, putriku kehilangan.

“Khadijah! Apakah aku benar-benar ibu yang hilang?”

“ibu ingin mendengar kejujuranku?”

“tentu saja” aku meyakinkannya

“ibu tak pernah ada, dalam tangisku, bahkan dalam tangis bayi sekalipun, begitu yang terjadi pada kami kan? Terlebih aku dan al Mundzir. Berjihad lebih menarik bagi ibu, daripada merawat kami, aku mendengar ceritanya, ibu pergi ke Yarmuk begitu saat menanti kelahiran al Mundzir, bagaimana bisa? Tidakkah engkau mengkhawatirkan keselamatan bayi yang dalam rahimmu?” aku terkekeh mendengarnya lalu menjawabnya :

“Putra-putraku terlahir dalam perjuangan, aku mendaki bukit Tsur dalam kehamilan pertamaku, maka tidaklah sulit bagiku pergi ke medan Yarmuk dan aku dalam keadaan hamil. Yarmuk Madinah bukanlah perjalanan berbulan, aku pun dapat melahirkan dengan selamat di kota ini, kota penuh cahaya, dan apakah nenek Shafiyyah yang harus pergi berjihad?” Khadijah antara terkagum dan merenggut mendengar jawabku, ia lalu berkata

“Bagaimanalah engkau mengaturnya, tapi aku sungguh memerlukan ibuku, ibu yang berada disampingku dalam risauku, nenek Shafiyyah sama persis seperti ayah, tidak mengerti hati, aku wanita ibu!!”

“medan pertempuran mungkin telah berakhir bagiku, aku pasti akan selalu bersamamu, kita akan bersama-sama mempelajari banyak hal”

“benarkah?” Khadijah sangat girang

“Khadijah! Camkanlah, kita wanita muslim, adalah wanita mandiri yang saling bekerja sama, ada peran-peran yang bisa saling mengisi dan menggantikan, meski kau tak meminum air susuku, tapi wanita hebat lain memberikannya untukmu, Hasan cucu pertama Rasulullah bukanlah Fathimah yang menyusuinya, tapi Ummu Fadhl. Hasan terpisah jarak Mekkah Medinah untuk mendapat air susu terbaik dari wanita yang melahirkan seorang ahli agama. Dan kau pun tetap anak manusia, bukan anak kambing”

“ibuuuu! Aku kira ibu akan menasihatiku sesuatu yang sangat serius, ibuuuu” Khadijah memukuliku dan kami kembali tertawa bersama

Perjalanan tanpa terasa telah membawa kami kembali ke area mesjid Rasulullah. Kami melintas dipekarangan Aisyah, ia tengah bersama Ummi Kultsum, adik kami, mereka melambaikan tangan, Khadijah tak terlalu menyambut lambaian itu, ia sangat cemburu pada Ummi Kultsum, baginya seluruh perhatian bibinya terpusat pada Ummi Kultsum.

Aku menarik Khadijah untuk mendekati Aisyah, lalu aku bertanya pada Aisyah

“pelajaran apakah yang kau punya hari ini?”

“aku akan membacakan ayat ini : “hari itu bumi diganti dengan bumi yang lain dan lapisan langit yang lain pula , manusia-manusia menampakkan diri pada Allah yang Esa dan Maha Perkasa”

Aku lalu menyela perkataan Aisyah

“perasaan diganti dengan perasaan yang lain dan kebahagiaan yang lain pula, jika demikian segala sesuatu yang masih berganti maka itu bukan suatu akhir, sungguh bukan suatu akhir. Bukankah begitu?”

“apa berganti apa?” Aisyah balik bertanya padaku

“Kemarin aku merasa kehilangan, hari ini aku mendapatkan, maka perceraian yang menimpaku bukan suatu akhir” aku berkata dengan menelan ludah pahit

“Seperti penaklukan lautan, Umar melarangnya dan Utsman telah mengeluarkan izinnya” Aisyah berkata antara bahagia dan cemas

“Akhirnya kita memiliki armada laut, dan kau seakan memendam kerisauan, mengapakah?”

“Jika ilmu belum mendapatkan pewarisnya, maka hilanglah ia dengan wafatnya para cendekia” Aisyah menghela nafas panjang

“Abu Darda, pastilah ia yang engkau risaukan, tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan jihad yang ada dihadapan, menjadi pasukan laut pertama” aku seakan menginginkan berada dalam kapal-kapal digjaya itu

“Sesungguhnya aku tak merisaukan kematiannya, tetapi aku risau tiada yang mendengar apa yang ia sampaikan saat ketetapan Allah terjadi, apakah itu suatu kemenangan dari sisi Allah, atau tertahannya penaklukan”

“Entahlah Aisyah, tapi kukira Abu Darda akan kembali dari medan jihad ke Damaskus, kematiannya atas idzin Allah ada pada garis takdir kaum pemuka Khazraj, Para penjaga al Qur’an”

“Dan tentang yang kau katakan bukan suatu akhir, kau kehilangan, dan apa yang engkau dapatkan?” Tiba-tiba saja Aisyah bertaya

“aku mendapatkan kedekatan dan cinta dari putriku, Khadijah”

“kukira perceraian bukan akhir cintamu dengan az Zubayr, kukira bukan suatu akhir” Aisyah meledekku