Ayat yang menguji hingga ia pun murtad

Bismillahirrahmaanirrahiim

Dari sekian banyak membaca, dan tadabbur,

diantara hal yang paling mencengangkan adalah kondisi “murtad”

diantara murtad yang paling bikin sedih adalah murtadnya Abdullah Bin Abi Sarhin, dan Ubaidillah Bin Jahsy.

Adapun Ubaidillah Bin Jahsyi, ia adalah seorang pencari kebenaran, tak mau menyembah berhala, bersama sahabat-sahabatnya berkelana. Yahudi dan Kristen tak menarik perhatiannya.
Tatkala datang islam, ia bersegera beriman, pun demikian istrinya Ummu Habibah putri Abu Sufyan.
Tribulasi dakwah menghantarkannya hingga hijrah ke Habasyah, dan kali ini melihat kebesaran budaya Habasyah, ia yang selama pengembaraan kebenaran dalam hidupnya, tak pernah tertarik dengan kristen, kini terkagum-kagum, dan menjadi pemeluk kristen di Habasyah.

saya ucapkan “Na’udzubillah dari kejadian macam ini”
Adapun Ummu Habibah, terselamatkan akidahnya, ia dijauhkan dari keburukan suaminya, Allah pun menganugerahinya pernikahan dengan manusia paling agung. Ummu Habibah menikah dengan Rasulullah.

Adapun Abdullah Bin Abi Sarhin, ia adalah termasuk orang yang masuk islam di awal-awal dakwah, boleh jadi masuk Islam sebelum Rasulullah bersembunyi di rumah Arqam Bin Abil Arqam.
Ia adalah orang kepercayaan Rasulullah, dipercaya menulis wahyu.
Hingga suatu ketika, tatkala surat Al Mukminun turun, sampai di ayat 14 dan Rasulullah salam sejahtera baginya memerintahkan kepada Abdullah Bin Abi Sarhin untuk menuliskan.
begini surat Al Mukminun ayat 14
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik

kata-kata yang ditebalkan, menimbulkan kegaduhan dan interpretasi yang bermacam-macam
Ditengah seruan tauhid, datang ayat yang demikian adanya.

Bagi ABdullah Bin Abi Sarhin ayat tersebut tidak menggoyahkan keyakinannya akan keesaan Allah,
tetapi “penafsiran” yang dibumbui setan mengelabuinya

Jika Allah yang Esa, mengakui adanya kreasi-kreasi manusia,
lalu mensifati diriNya sebagai “pencipta yang terbaik” karena sifat-sifat ciptaan Allah
maka Abdullah mencoba mengambil kesimpulan antara dirinya dan Rasulullah

Rasulullah mendapatkan wahyu dari Allah dengan perantaraan makhuk yang tidak dapat dilihat manusia lain.
Terkadang ketika sedang bercakap dengan orang-orang, tiba-tiba saja Rasulullah bercakap dengan sesuatu yang tidak terlihat, yaitu Malaikat, pada titik inilah ejekkan menyesakkan dada pada Rasulullah terlontar, kaum kafir berkata bahwa beliau gila.

Turunnya wahyu, proses turunnya dipikirkan Abdullah, apakah wahyu itu berupa ilham, wangsit atau bagaimana?

Kelebihan kecerdasan yang dimiliki Abdullah Bin Abi Sarhin menggodanya, antara “wahyu ” dan “ide”
sebagai orang cerdas, ide-ide selalu berkelabatan dalam dirinya, respon-respon atas peristiwa sosial dimilikinya.
Dan pengalamannya sebagai penulis wahyu menambah ragam rupa kecerdasannya

hingga kesimpulannya : “wahyu” = “ide”

jika nabi Muhammad adalah seorang nabi yang diberi “wahyu”
maka ia pun seorang nabi yang diberi “wahyu”

maka murtadlah Abdullah Bin Abi Sarhin
setelah murtad propaganda yang dilancarkannya luar biasa
anti keimanan
ia yang saudara sesusu Utsman, bahkan mempropaganda Utsman untuk tak menginfakkan hartanya di jalan Allah

(saya kembali ucapkan na’udzubillah dari terjerumus pada kondisi demikian)

Zaman berlalu, hingga futuh Mekkah dan Rasulullah memerintahkan pembunuhannya

tapi ternyata, Allah masih memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat dan berkarya nyata
semoga Allah menerima taubatnya

Terhempas Badai – (Tiga – Hati)

Tiga : Hati

Khadijah putriku tak pernah dapat tersenyum dengan lega pada Ummu Kultsum saudariku. Kembali pada masa kecilnya tatkala seluruh perhatian bibinya terenggut oleh Ummu Kultsum, semakin menjadi ketika Thalhah menikahi saudariku dengan mahar fantastis 100 ribu dirham. Mahar yang saat dipindahkan dari rumah Thalhah, iring-iringannya menjadi perhatian, kereta dirham. Umar sempat menyitanya meski keesokan hari diberikan pada Ummu Kultsum.

Tentang Khadijah putriku, yang kumengerti adalah ia risau tentang pernikahannya, belumlah seseorang datang mengkhitbahnya, mencintainya seperti cinta Thalhah pada Ummu Kultsum, tetapi sesekali ia meledek Ummu kultsum “sesungguhnya yang Thalhah cintai adalah bibinya Aisyah dan bibikecil saingannya Ummu Kultsum”

Dan kini bagaimana aku menyampaikannya? Akadpun tak dapat dilaksanakan, tak seorangpun walinya berada di Medinah,  seorang Bani Makhzum melamarnya, tentu itu akan mengobati persaingannya dengan Ummu Kultsum. Seringkali putriku bertanya, mengapa ia mesti dijaga nenek Shafiyyah, nenek yang pernah murka padanya karena aku. Ia bertanya mengapa ia tak dijaga bibi Aisyah?

Tentang Abdullah putra Abi Rabi’ah al makhzumi yang melamarnya, akan kusampaikan jika ayahnya telah kembali ke Medinah, ataukah aku berkirim surat pada az Zubayr tentang ini? hingga az Zubayr dapat mempercepat perjalanan atau mewakilkan perwalian.

Beberapa hari sebelum Abdullah menyampaikan niatannya sesungguhnya Jubair bin Muth’im terdengar menyebut nama putriku, al Mundzir menyampaikan, ia mendengarkan pecakapan kafilah dagang Mekkah yang Jubair ada didalamnya. Tapi Jubair tak berbicara apa-apa ia berlalu begitu saja menuju Mekkah. Bisa jadi lamaran Jubair akan lebih membahagiakannya karena akan berupa skor seri dalam persaingannya dengan Ummu Kultsum. Thalhah dan Jubair adalah pria-pria yang karena takdir tidak dapat menikahi Aisyah.

Tentang hati dan pernikahan, sesugguhnya tujuan pernikahan lebih tinggi dari pemenuhan cinta belaka, akan tetapi jika cinta bersatu dalam pernikahan maka sungguh membantu menyatukan dua sejoli yang saling mencintai dalam pernikahan adalah sebaik-baik pertolongan.

Semua itu mengisi pikiranku saat aku mempersiapkan makan malam. Urwah ingin dibuatkan Tsarid, Urwah berkata jika tantenya Aisyah adalah bagai Tsarid diatas semua makanan, maka ia harus tahu kelezatan Tsarid. Beberapa kali ia encoba Tsarid yang dibuat selainku, ia katakan semua itu tak mengundang penilaian makanan terenak dalam benaknya.

Urwah duduk disampingku menunggu Tsarid selesai  dimasak, jika aku memikirkan Khadijah, makaUrwah menunggu tsarid dengan ayat-ayat Al Qur’an. Ahh putraku, wajahmu adalah wajahku, jika ayahmu mengambilmu untuk tinggal bersamanya sungguh cinta itu ada dihati az Zubayr untukku.

Malam-malam yang jika dihinggapi kerinduan, maka ada engkau disisinya, dan ada al Mundzir bersamaku. Kalian adalah replika-replika cinta.

Urwah, putra bungsuku ia baru berusia 7 tahun, tetapi keinginan bermain telah hilang dari jiwanya. Urwah tak pernah memeluk erat dengan tangannya apapun kecuali Mushhaf, ia membolak-baliknya, kakaknya adalah inspirasinya. Abdullah menjadi teladan hebat bagi dirinya. Ia hanya ingin diajarkan shalat oleh kakaknya, ingin menghafal al Qur’an seperti kakaknya, alangkah indahnya jika kebaikan terkumpul pada anak pertama, kemudian adik-adiknya menjadikannya idola.

Pintu rumahku bergetar dengan suara khas yang aku kenal, itu suara budaknya Aisyah, mengabarkan apakah ia sore ini?

Khadijah membukakan pintu, yang segera sesudah itu budak aisyah masuk menemuiku, jika demikian berita ini adalah tentang Ummu kultsum, persaingan yang telah tersebar kemana-mana. Berita gembira yang jika didengar Khadijah belum tentu menjadi berita gembira, jika itu tentang Ummu Kultsum.

“Wahai putri As Shiddiq, adikmu telah melahirkan seorang bayi perempuan, Thalhah telah memberinya nama, Aisyah”

Aku bertakbir dan mengucap hambalah, aneka senyum menghias wajahku, ahh ini tentang hati, Thalhah takkan pernah bisa menutupi cintanya pada adikku, Aisyah. Hingga putrinya pun ia berinama Aisyah.

“aku akan segera menjumpai adikku dan keponaan baruku, aku akan datang bersama Khadijah” aku mengerlingkan mata pada Khadijah, ia tak berkutik, ia harus ikut menengok putri bibi saingannya.

Pelayan Aisyah kemudian menambahkan :

“berita gembira lainnya adalah bahwa Aisyah putri Thalhah telah dikhithbah Abdurrahman bin Abu Bakar untuk putranya, bayi yang telah mencuri hati Abdurrahman”

Ohw, berita apakah ini? kabar yang membuat wajah Khadijah putriku berhias mendung, bayi merah telah dilamar, sedangkan ia telah berjalan dimuka bumi, belum satupun pria melamarnya, “ohw putriku aku mengerti rasamu”

Aku merasa takjub ketika Urwah memahami tentang apa yang terjadi, ia menarik-narik tangan kakaknya, mengajaknya duduk

“Wahai saudariku, janganlah hati dipenuhi luka, janganlah hati dipenuhi dengki, kita terlahir dari rahim mulia, pemilik dua sabuk. Ada darah Hawari Rasulullah dalam tubuh kita, mengapakah engkau membiarkan setan mengusai hubunganmu dengan bibi Ummi Kultsum?”

Aku memandang takjub pada Urwah, tetapi tidak dengan Khadijah, mata kesal yang seakan berkata “dasar anak kecil, kamu tidak tahu apa-apa!”

Aku mengusap kepala Khadijah dengan lembut, ia memandangku dan berkata

“Wahai Ibunda, persaingan dan dengki, bagaimanakah aku membuat pemisah diantara keduanya meskipun tipis?”

“lihatlah wanita idolamu dan madu saingannya!”

“apakah maksud ibunda antara bibi Aisyah dan Ummu Salamah?”

“ya, aku menyusui putri Ummu Salamah dengan susu Abdullah, persaingan yang dibumbui kekerabatan susuan, dalam banyak hal aku selalu bersama Aisyah, tetapi tidak menghanguskan pikiran jernihku jika kebenaran ada pada Ummu Salamah”

Khadijah berkerut

“Wahai ibunda, jika aku berbicara denganmu, kau datang dengan segala hal yang merenggut pemikiran, tidakkah kau ingin memberi sedikit saja pemahamana gratis buatku?”

Aku tertawa terbahak mendengar ungkapan Khadijah, dan akupun memeluknya erat

Terhempas Badai (2 – Tak Berjejak)

Dua : Tak Berjejak

Al Mundzir bolak-balik menuliskan sesuatu dan kemudian kembali keluar, aku melihat apa yang dia tuliskan, lagi pula mengapa ia tidak membawa saja lembaran-lembaran ini dan menulis setiap keterangan yang ia dapatkan saat itu seketika. Beberapa saat kemudian Al Mundzir datang dengan tergopoh-gopoh, aku hanya memperhatkannya, tak bertanya apapun padanya. Melihatku al Mundzir langsung berkata :

“Wahai Ibunda, aku berjumpa ayah, ia berkata akan mengantarkan Urwah nanti sore, ayah akan melakukan sesuatu ke Kufah”

Aku hanya mengangguk, hatiku berkecamuk apa maksud az Zubayr menyampaikan pesan demikian, seolah aku tidak memperhatikan Urwah putra kami. Kalau bukan atas permintaannya agar Urwah tinggal bersamanya tentu putra bungsuku akan selalu bersamaku. Tapi aku tak memperdulikan pancingan emosi yang demikian, biarlah saja, sesungguhnya aku masih bertemu Urwah setiap hari, aku bertemu dengannya di rumah Aisyah.

“Wahai Ibunda, akankah cincin Rasulullah ditemukan?

“Sebegitu menarikkah bagimu, tentang desas desus yang beredar, bahwa sebuah pertanda akan kita diesok hari?”

“Bukan-bukan begitu maksudku wahai ibunda, hanya saja sumur Aris adalah sumur yang sedikit airnya, tetapi penggalian dalam radius yang tidak wajar tetap tidak membuahkan hasil, cincin Rasulullah tak meninggalkan jejak”

“Mungkin malaikat telah membawanya, sebagaimana akan membawa Utsman menuju surga, sumur Aris, kenangan akan kabar surga”

“kabar surga?” Al Mundzir menyelidik

“disumur itu dikabarkan surga, bagi kakekmu, bagi Umar, semoga Allah menyayangi keduanya, dan bagi Amirul Mukminin Utsman bin Affan, tidakkah kau pernah mendengarnya?”

“aku mendengarnya wahai Ibunda, surga bagi amirul mukminin Utsman Bin Affan dengan melalui cobaan”

“Jika demikian kau dapat membuat suatu garis hubungan antara peristiwa-peristiwa, saat cincin Rasulullah terjatuh di sumur Aris dari tangan Mu’aiqib, mungkinkah itu pertanda buruk bagi Utsman?”

“wahai ibunda, ajarilah putramu ini tentang takwil mimpi dan mengambil benang merah dari peristiwa-peristiwa”

“Menurutku, kesulitan bagi Utsman akan ditandai dengan masalah air, jika ia mendapati permasalahan dengan air, maka disanalah kesabarannya diuji, semoga Allah memberikan keberkahan bagi Utsman”

“Permasalahan air? Amirul Mukminin Utsman? Ia selalu menyelamatkan ummat Islam dari bencana kekeringan dan kehausan? Dan pertanda ujiannya tentang air?” AL Mundzir tampak tidak terlalu mengerti dengan penjelasanku

“wahai al Mundzir, mengapa engkau menggambar peta sumur-sumur yang Rasulullah pernah menggunakannya?”

“Ini tentang al Furu’, bukankah engkau menyuruh kami memakmurkannya, jika kita menganggap mesjid Rasulullah sebagai titik pusat, maka kita dapat melihat jarak setiap sumur ke Mesjid. Kita akan membutuhkan semua data ini untuk menentukan titik-titik sumur di tanah al furu’”

“Sudah kau bicarakan tentang besaran uang yang kita butuhkan untuk menghijaukan al Furu’?”

“ya wahai Ibunda, saudaraku Abdullah telah merencanakan perniagaan kami ke Syam, sepulang dari sana jika Allah mengizinkan keuntungan yang berlipat, maka kami akan memulai mengolah al Furu’ menjadi tanah pertanian”

“Semoga Allah memberahimu, memberkahi saudaramu karena kalian telah merencanakan sesuatu yang besar menghijaukan bumi, sungguh aku melihat al Furu’ dalam perjalanan hijrahku, aku melihat tanah itu penuh keberkahan”

“Aamien, semoga Allah mengabulkan do’a ibunda, ahh wahai ibunda, satu lagi pertanyaan tentang cincin Rasulullah yang terjatuh di sumur Aris, berikan aku gambaran, pertanda tentang apalagikah semua itu, supaya aku bisa mengikuti ilmumu dalam mentakwilkan mimpi dan peristiwa”

Aku tersenyum pada al Mundzir tapi lalu merubah wajahku seketika “Orang-orang akan berubah akhlaqnya, satu persatu akan menunjukkan rasa tidak hormat kepada Amirul Mukminin Utsman bin Affan, pemberontakan”

“Benarkah wahai Ibunda? ”  Wajah al Mundzir memerah

“Tetaplah tenang dalam keimananmu wahai putraku, Allah telah menjamin Utsman dengan surga” aku mengusap dada al Mundzir