Terhempas Badai (2 – Tak Berjejak)

Dua : Tak Berjejak

Al Mundzir bolak-balik menuliskan sesuatu dan kemudian kembali keluar, aku melihat apa yang dia tuliskan, lagi pula mengapa ia tidak membawa saja lembaran-lembaran ini dan menulis setiap keterangan yang ia dapatkan saat itu seketika. Beberapa saat kemudian Al Mundzir datang dengan tergopoh-gopoh, aku hanya memperhatkannya, tak bertanya apapun padanya. Melihatku al Mundzir langsung berkata :

“Wahai Ibunda, aku berjumpa ayah, ia berkata akan mengantarkan Urwah nanti sore, ayah akan melakukan sesuatu ke Kufah”

Aku hanya mengangguk, hatiku berkecamuk apa maksud az Zubayr menyampaikan pesan demikian, seolah aku tidak memperhatikan Urwah putra kami. Kalau bukan atas permintaannya agar Urwah tinggal bersamanya tentu putra bungsuku akan selalu bersamaku. Tapi aku tak memperdulikan pancingan emosi yang demikian, biarlah saja, sesungguhnya aku masih bertemu Urwah setiap hari, aku bertemu dengannya di rumah Aisyah.

“Wahai Ibunda, akankah cincin Rasulullah ditemukan?

“Sebegitu menarikkah bagimu, tentang desas desus yang beredar, bahwa sebuah pertanda akan kita diesok hari?”

“Bukan-bukan begitu maksudku wahai ibunda, hanya saja sumur Aris adalah sumur yang sedikit airnya, tetapi penggalian dalam radius yang tidak wajar tetap tidak membuahkan hasil, cincin Rasulullah tak meninggalkan jejak”

“Mungkin malaikat telah membawanya, sebagaimana akan membawa Utsman menuju surga, sumur Aris, kenangan akan kabar surga”

“kabar surga?” Al Mundzir menyelidik

“disumur itu dikabarkan surga, bagi kakekmu, bagi Umar, semoga Allah menyayangi keduanya, dan bagi Amirul Mukminin Utsman bin Affan, tidakkah kau pernah mendengarnya?”

“aku mendengarnya wahai Ibunda, surga bagi amirul mukminin Utsman Bin Affan dengan melalui cobaan”

“Jika demikian kau dapat membuat suatu garis hubungan antara peristiwa-peristiwa, saat cincin Rasulullah terjatuh di sumur Aris dari tangan Mu’aiqib, mungkinkah itu pertanda buruk bagi Utsman?”

“wahai ibunda, ajarilah putramu ini tentang takwil mimpi dan mengambil benang merah dari peristiwa-peristiwa”

“Menurutku, kesulitan bagi Utsman akan ditandai dengan masalah air, jika ia mendapati permasalahan dengan air, maka disanalah kesabarannya diuji, semoga Allah memberikan keberkahan bagi Utsman”

“Permasalahan air? Amirul Mukminin Utsman? Ia selalu menyelamatkan ummat Islam dari bencana kekeringan dan kehausan? Dan pertanda ujiannya tentang air?” AL Mundzir tampak tidak terlalu mengerti dengan penjelasanku

“wahai al Mundzir, mengapa engkau menggambar peta sumur-sumur yang Rasulullah pernah menggunakannya?”

“Ini tentang al Furu’, bukankah engkau menyuruh kami memakmurkannya, jika kita menganggap mesjid Rasulullah sebagai titik pusat, maka kita dapat melihat jarak setiap sumur ke Mesjid. Kita akan membutuhkan semua data ini untuk menentukan titik-titik sumur di tanah al furu’”

“Sudah kau bicarakan tentang besaran uang yang kita butuhkan untuk menghijaukan al Furu’?”

“ya wahai Ibunda, saudaraku Abdullah telah merencanakan perniagaan kami ke Syam, sepulang dari sana jika Allah mengizinkan keuntungan yang berlipat, maka kami akan memulai mengolah al Furu’ menjadi tanah pertanian”

“Semoga Allah memberahimu, memberkahi saudaramu karena kalian telah merencanakan sesuatu yang besar menghijaukan bumi, sungguh aku melihat al Furu’ dalam perjalanan hijrahku, aku melihat tanah itu penuh keberkahan”

“Aamien, semoga Allah mengabulkan do’a ibunda, ahh wahai ibunda, satu lagi pertanyaan tentang cincin Rasulullah yang terjatuh di sumur Aris, berikan aku gambaran, pertanda tentang apalagikah semua itu, supaya aku bisa mengikuti ilmumu dalam mentakwilkan mimpi dan peristiwa”

Aku tersenyum pada al Mundzir tapi lalu merubah wajahku seketika “Orang-orang akan berubah akhlaqnya, satu persatu akan menunjukkan rasa tidak hormat kepada Amirul Mukminin Utsman bin Affan, pemberontakan”

“Benarkah wahai Ibunda? ”  Wajah al Mundzir memerah

“Tetaplah tenang dalam keimananmu wahai putraku, Allah telah menjamin Utsman dengan surga” aku mengusap dada al Mundzir