Terhempas Badai – (Tiga – Hati)

Tiga : Hati

Khadijah putriku tak pernah dapat tersenyum dengan lega pada Ummu Kultsum saudariku. Kembali pada masa kecilnya tatkala seluruh perhatian bibinya terenggut oleh Ummu Kultsum, semakin menjadi ketika Thalhah menikahi saudariku dengan mahar fantastis 100 ribu dirham. Mahar yang saat dipindahkan dari rumah Thalhah, iring-iringannya menjadi perhatian, kereta dirham. Umar sempat menyitanya meski keesokan hari diberikan pada Ummu Kultsum.

Tentang Khadijah putriku, yang kumengerti adalah ia risau tentang pernikahannya, belumlah seseorang datang mengkhitbahnya, mencintainya seperti cinta Thalhah pada Ummu Kultsum, tetapi sesekali ia meledek Ummu kultsum “sesungguhnya yang Thalhah cintai adalah bibinya Aisyah dan bibikecil saingannya Ummu Kultsum”

Dan kini bagaimana aku menyampaikannya? Akadpun tak dapat dilaksanakan, tak seorangpun walinya berada di Medinah,  seorang Bani Makhzum melamarnya, tentu itu akan mengobati persaingannya dengan Ummu Kultsum. Seringkali putriku bertanya, mengapa ia mesti dijaga nenek Shafiyyah, nenek yang pernah murka padanya karena aku. Ia bertanya mengapa ia tak dijaga bibi Aisyah?

Tentang Abdullah putra Abi Rabi’ah al makhzumi yang melamarnya, akan kusampaikan jika ayahnya telah kembali ke Medinah, ataukah aku berkirim surat pada az Zubayr tentang ini? hingga az Zubayr dapat mempercepat perjalanan atau mewakilkan perwalian.

Beberapa hari sebelum Abdullah menyampaikan niatannya sesungguhnya Jubair bin Muth’im terdengar menyebut nama putriku, al Mundzir menyampaikan, ia mendengarkan pecakapan kafilah dagang Mekkah yang Jubair ada didalamnya. Tapi Jubair tak berbicara apa-apa ia berlalu begitu saja menuju Mekkah. Bisa jadi lamaran Jubair akan lebih membahagiakannya karena akan berupa skor seri dalam persaingannya dengan Ummu Kultsum. Thalhah dan Jubair adalah pria-pria yang karena takdir tidak dapat menikahi Aisyah.

Tentang hati dan pernikahan, sesugguhnya tujuan pernikahan lebih tinggi dari pemenuhan cinta belaka, akan tetapi jika cinta bersatu dalam pernikahan maka sungguh membantu menyatukan dua sejoli yang saling mencintai dalam pernikahan adalah sebaik-baik pertolongan.

Semua itu mengisi pikiranku saat aku mempersiapkan makan malam. Urwah ingin dibuatkan Tsarid, Urwah berkata jika tantenya Aisyah adalah bagai Tsarid diatas semua makanan, maka ia harus tahu kelezatan Tsarid. Beberapa kali ia encoba Tsarid yang dibuat selainku, ia katakan semua itu tak mengundang penilaian makanan terenak dalam benaknya.

Urwah duduk disampingku menunggu Tsarid selesai  dimasak, jika aku memikirkan Khadijah, makaUrwah menunggu tsarid dengan ayat-ayat Al Qur’an. Ahh putraku, wajahmu adalah wajahku, jika ayahmu mengambilmu untuk tinggal bersamanya sungguh cinta itu ada dihati az Zubayr untukku.

Malam-malam yang jika dihinggapi kerinduan, maka ada engkau disisinya, dan ada al Mundzir bersamaku. Kalian adalah replika-replika cinta.

Urwah, putra bungsuku ia baru berusia 7 tahun, tetapi keinginan bermain telah hilang dari jiwanya. Urwah tak pernah memeluk erat dengan tangannya apapun kecuali Mushhaf, ia membolak-baliknya, kakaknya adalah inspirasinya. Abdullah menjadi teladan hebat bagi dirinya. Ia hanya ingin diajarkan shalat oleh kakaknya, ingin menghafal al Qur’an seperti kakaknya, alangkah indahnya jika kebaikan terkumpul pada anak pertama, kemudian adik-adiknya menjadikannya idola.

Pintu rumahku bergetar dengan suara khas yang aku kenal, itu suara budaknya Aisyah, mengabarkan apakah ia sore ini?

Khadijah membukakan pintu, yang segera sesudah itu budak aisyah masuk menemuiku, jika demikian berita ini adalah tentang Ummu kultsum, persaingan yang telah tersebar kemana-mana. Berita gembira yang jika didengar Khadijah belum tentu menjadi berita gembira, jika itu tentang Ummu Kultsum.

“Wahai putri As Shiddiq, adikmu telah melahirkan seorang bayi perempuan, Thalhah telah memberinya nama, Aisyah”

Aku bertakbir dan mengucap hambalah, aneka senyum menghias wajahku, ahh ini tentang hati, Thalhah takkan pernah bisa menutupi cintanya pada adikku, Aisyah. Hingga putrinya pun ia berinama Aisyah.

“aku akan segera menjumpai adikku dan keponaan baruku, aku akan datang bersama Khadijah” aku mengerlingkan mata pada Khadijah, ia tak berkutik, ia harus ikut menengok putri bibi saingannya.

Pelayan Aisyah kemudian menambahkan :

“berita gembira lainnya adalah bahwa Aisyah putri Thalhah telah dikhithbah Abdurrahman bin Abu Bakar untuk putranya, bayi yang telah mencuri hati Abdurrahman”

Ohw, berita apakah ini? kabar yang membuat wajah Khadijah putriku berhias mendung, bayi merah telah dilamar, sedangkan ia telah berjalan dimuka bumi, belum satupun pria melamarnya, “ohw putriku aku mengerti rasamu”

Aku merasa takjub ketika Urwah memahami tentang apa yang terjadi, ia menarik-narik tangan kakaknya, mengajaknya duduk

“Wahai saudariku, janganlah hati dipenuhi luka, janganlah hati dipenuhi dengki, kita terlahir dari rahim mulia, pemilik dua sabuk. Ada darah Hawari Rasulullah dalam tubuh kita, mengapakah engkau membiarkan setan mengusai hubunganmu dengan bibi Ummi Kultsum?”

Aku memandang takjub pada Urwah, tetapi tidak dengan Khadijah, mata kesal yang seakan berkata “dasar anak kecil, kamu tidak tahu apa-apa!”

Aku mengusap kepala Khadijah dengan lembut, ia memandangku dan berkata

“Wahai Ibunda, persaingan dan dengki, bagaimanakah aku membuat pemisah diantara keduanya meskipun tipis?”

“lihatlah wanita idolamu dan madu saingannya!”

“apakah maksud ibunda antara bibi Aisyah dan Ummu Salamah?”

“ya, aku menyusui putri Ummu Salamah dengan susu Abdullah, persaingan yang dibumbui kekerabatan susuan, dalam banyak hal aku selalu bersama Aisyah, tetapi tidak menghanguskan pikiran jernihku jika kebenaran ada pada Ummu Salamah”

Khadijah berkerut

“Wahai ibunda, jika aku berbicara denganmu, kau datang dengan segala hal yang merenggut pemikiran, tidakkah kau ingin memberi sedikit saja pemahamana gratis buatku?”

Aku tertawa terbahak mendengar ungkapan Khadijah, dan akupun memeluknya erat